Minta Ungkap Identitas Wasit Pengatur Skor, PSSI Gugat Mata Najwa ke Pengadilan
INDOSPORT.COM - Ketua Komite Wasit PSSI, Ahmad Riyadh, mengatakan akan tetap menggugat program Mata Najwa untuk mendapatkan identitas wasit pelaku match fixing di sepak bola Indonesia.
Ketika tampil di program Mata Najwa edisi 'PSSI Bisa Apa Jilid 6: Lagi-Lagi Begini', Ahmad Riyadh mendesak Najwa Shihab, presenter program itu, untuk membongkar identitas wasit yang menjadi narasumber.
Sebab, wasit yang menggunakan inisial Mr Y sebagai samaran, mengakui ada praktik pengaturan skor di Liga 1 2021-2022 benar-benar terjadi.
Sayangnya, permintaan Komite Wasit tidak bisa dipenuhi program Mata Najwa karena menyangkut kode etik jurnalistik atau sesuai dengan hak tolak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"PSSI akan mengambil langkah dan upaya hukum yang tepat guna mendapatkan data seseorang perangkat pertandingan yang mengaku dalam program Mata Najwa melakukan pengaturan skor atau penerimaan suap terkait tugasnya," kata Ahmad Riyadh ke INDOSPORT.COM.
Demi mendapatkan identitas wasit kotor tersebut, PSSI akan menempuh langkah dan upaya hukum ke Dewan Pers, Kepolisian, dan Pengadilan Negeri. Ahmad Riyadh menyatakan PSSI akan menempuh langkah dan upaya hukum dengan harapan :
1. Pelaku pengaturan pertandingan segera dapat diungkap bersama seluruh jaringan.
2. PSSI akan menindak sesuai dengan statuta.
3. Jika terbukti melangar hukum di luar statuta, maka akan menyerahkan kepada pihak pihak yang berwenang.
1. Undang-undang Pers
Jika dibawa ke Dewan Pers, peluang PSSI untuk mendapatkan identitas wasit nakal itu terbuka. Ayat 4 Pasal 4 Undang-Undang Pers tersebut menyatakan bahwa "Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan".
Artinya, hak tolak dapat gugur jika ada perintah pengadilan. Hal itulah yang diperjuangkan oleh PSSI.
Menurut Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo, sulit bagi PSSI membawa hal itu ke pengadilan lantaran kerja pers juga dilindung kekuatan hukum lain yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2008 serta Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Semua regulasi tersebut bermuara ke satu titik yaitu sengketa terkait produk jurnalistik harus diselesaikan oleh Dewan Pers.