Susahnya Menjadi Seorang Wasit, Baik di Indonesia Maupun Dunia
INDOSPORT.COM – Wasit berlisensi FIFA yang dimiliki Indonesia, Thoriq Alkatiri kembali menjadi sorotan. Bukan di level Indonesia, melainkan di kancah sepak bola Asia.
Thoriq baru-baru ini memimpin pertandingan berlabel big match di Piala AFC 2019 antara Qadsia SC vs Malkiya Club, Senin (01/04/19) malam waktu setempat, di Kuwait City Stadium, Kuwait.
Wasit asal Purwakarta berusia 30 tahun itu mengeluarkan keputusan kontroversi dalam debut pertamanya memimpin pertandingan Piala AFC.
Pada menit ke-68, Thoriq menunjuk titik putih setelah kapten Qadsia SC, Bader Al Mutawwa, dijatuhkan pemain Malkiya Club bernomor punggung 31, J.H Kadhem.
Sekilas melalui tayangan ulang, Bader Al Mutawwa dijegal (meski terlihat minim sentuhan) di luar kotak penalti, namun jatuh tepat di area 16 lawan.
Protes keras langsung dilancarkan oleh pemain Malkiya. Namun demikian, Thoriq tetap pada keputusannya untuk memberi hadiah penalti kepada tuan rumah.
Masih ingat di dalam benak kita, Thoriq mengambil keputusan mengesahkan gol tangan Tuhan Patrich Wanggai pada babak 8 besar Piala Presiden 2019 antara Persija Jakarta vs Kalteng Putra, Sabtu (28/03/19), di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi.
Caci-maki langsung yang diterima oleh Thoriq setelah laga tersebut, tidak peduli seberapa tinggi level lisensi yang dimilikinya.
Ini menjadi bukti kalau menjadi wasit itu tidaklah mudah, tidak hanya dalam menjalaninya, tetapi dalam hal mengejar predikat sebagai wasit profesional.
1. Beratnya Berkarier Menjadi Wasit
Seperti halnya menjadi pelatih, mengejar profesi sebagai wasit juga melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah. Waktu dan uang yang dikeluarkan juga tidak sedikit.
Untuk menjadi pelatih di Indonesia saja, seseorang yang amatir harus mengambil lisensi D terlebih dahulu atau level akar rumput. Berbeda dengan mantan pemain yang bisa langsung mengambil kursus C AFC.
Biaya yang dikeluarkan untuk kursus lisensi D kurang lebih Rp3 juta hingga Rp4,5 juta dan membutuhkan waktu kursus selama 6 hari atau minimal 30 jam pembelajaran teori dan praktik.
Kocek yang dikeluarkan juga terus bertambah banyak dan waktu yang dibutuhkan semakin lama seiring dengan sulitnya lisensi yang diikuti.
Untuk level Liga 1 dan Liga 2, pelatih Indonesia wajib menggenggam lisensi A AFC. Akan tetapi, karena kurangnya sumber daya, standar pelatih Liga 2 diturunkan menjadi B AFC.
Untuk wasit, perjalanan waktu dan nasib yang dialami juga tidak kalah berat. Mengambil contoh di Inggris, menurut FourFourTwo, kursus wasit dimulai dari FA wilayah (Asprov) yang kemudian ditugaskan di level amatir.
Setelah itu, wasit mengajukan promosi melalui level 7, 6, 5, dan 4 yang membawa mereka ke sepak bola semiprofesional.
Wasit kemudian diamati selama pertandingan dan turut mengikut ujian serta tes kesehatan yang membutuhkan pengeluaran setahun penuh di setiap level. Bayaran mereka saat itu masih 20 poundsterling (sekitar Rp380.000) per laga.
Untuk bisa benar-benar menembus liga dan memperoleh bayaran 300 poundsterling (sekitar Rp5,6 juta) per laga, wasit harus melewati wawancara di samping tes reguler yang memakan waktu tidak sedikit.
2. Kampanye Penghargaan untuk Wasit
Terlepas dari rumitnya menjadi wasit, baik di dunia maupun di Indonesia, fakta itu tidak mengubah pandangan terhadap profesi pengadil lapangan.
Seberapa tinggi level yang dimiliki, satu kesalahan saja bisa menjatuhkan nama baik sang wasit dengan segala badge mentereng yang terpasang di seragamnya.
Namun demikian, wasit juga manusia. Mereka terkadang bisa melakukan kesalahan atau terbatas oleh kemampuan yang belum terjangkau teknologi.
Menurut Sky Sports, mereka menghitung pada Maret 2018 bahwa rata-rata lima dari keputusan wasit itu keliru. Fakta ini kian memaklumi bahwa dari sekitar 250 keputusan yang diambil wasit dalam satu pertandingan (data PGMOL), selalu ada kesalahan yang terselip di sana.
Di Indonesia, wasit tidak jarang diperlakukan bak maling. Ketika kemenangan merasa dirampas dari tangan yang ingin memaksakan kemenangan, wasit dipukuli hingga menjadi bulan-bulanan pemain, suporter, bahkan ofisial tim.
Mulai Januari 2019, federasi sepak bola di seluruh negera mulai didesak untuk mengampanyekan penghargaan terhadap wasit setelah mengetahui fakta kekerasan fisik dan verbal terhadap wasit telah meningkat.
Bahkan pada tahun 2013, wasit wanita Inggris, Shelby Davis mendapatkan pelecehan verbal tentang gender dan profesinya sebagai wasit.
Ia merasa terpukul dan melapor kepada Hampshire FA usai mendapatkan ujaran yang kurang lebih berisikan, 'kamu hanyalah perempuan, tak seharusnya terlibat dalam sepak bola! Kemasi tas tanganmu dan pergilah pulang!'.
Terlepas dari penghinaan yang terjadi di tahun 2013 itu, penghargaan terhadap wasit selayaknya memang kembali digaungkan. Selain itu, terkhusus di Indonesia, mereka harus diterus dibina dan ditunjang dengan fasilitas memadai.
Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan Video Assistant Referee yang masih sebatas wacana. Jangankan itu, teknologi alat bantu komunikasi saja terkadang masih jarang ada.
Ikuti Terus Berita In Depth Sports dan Olahraga Lainnya di INDOSPORT.COM