Benarkah Karut-marut Sepak Bola Indonesia Hanya Karena Mafia Pengaturan Skor?
INDOSPORT.COM - Dalam acara talkshow yang bernama Mata Najwa kemarin, telah dipaparkan secara gamblang bahwa salah satu penyebab kehancuran sepak bola Indonesia dikarenakan adanya mafia yang bermain. Dijelaskan juga betapa mengerikannya suatu pertandingan sepak bola di Liga 2 bisa dibeli dengan kisaran ratusan juta rupiah.
Nama Vigit Waluyo yang disinyalir sebagai salah satu makelar pertandingan di Liga 2 pun ikut disebut sebagai ‘sontoloyo’ oleh mantan runner pengaturan skor. Sebuah kata yang dipopulerkan oleh Soekarno dengan pengambaran betapa ‘kurang ajar’ seseorang atas perilakunya.
Bahkan salah satu Exco PSSI, Hidayat juga ikut disebut sebagai makelar pertandingan yang bisa menawarkan suatu permintaan agar sebuah tim mengalah. Sungguh sebuah ironi jika pada nantinya Hidayat terbukti bersalah, karena seharusnya sebagai Exco PSSI, ia mampu mengadministrasikan keadilan bagi setiap klub.
Jika dari kompetisi liganya saja sudah begitu kacau dengan isu pengaturan skor, rasanya tidak akan heran hal itu akan berdampak pada Timnas Indonesia. Faktanya, Timnas Indonesia memang gagal total di Piala AFF 2018 dengan ‘prestasi’ terburuk sepanjang sejarah keikutsertaannya.
Lalu, apalagi yang bisa dibanggakan dari sepak bola Indonesia yang sudah bukan jalan ditempat lagi, melainkan sudah jatuh pada lubang terdalam dengan hanya kegelapan yang menjadi seorang teman. Apakah benar kekelaman sepak bola Indonesia hanya karena mafia pengaturan skor saja?
1. Pelatih Papan Atas Liga 1 Dikuasai Pihak Asing
Hingga pekan ke-32, terbukti lima tim teratas yang berada di kompetisi paling bergensi di Indonesia, Liga 1 dikepalai oleh nama-nama asing. Mulai dari PSM Makassar (Robert Rene Alberts), Persija Jakarta (Stefano Cugurra), Persib Bandung (Mario Gomez), Bhayangkara FC (Simon McMenemy), dan Borneo FC (Dejan Antonic).
Barulah kita dapat menemukan pelatih lokal di Liga pada peringkat keenam atas nama Djajang Nurdjaman yang memimpin Persebaya Surabaya. Bahkan pelatih lokal dengan nama besar seperti Rahmad Darmawan, Subangkit, dan Aji Santoso saja malah berada di jajaran tim menengah ke bawah dalam percaturan Liga 1.
Banyaknya pelatih asing yang berprestasi di Liga 1 dibanding nama lokal akan berdampak buruk. imbasnya adalah berkurangnya kesempatan pelatih lokal untuk memimpin tim-tim besar yang lebih percaya pada pihak asing, padahal mereka perlu diberi kesempatan juga.
Padahal jika ditilik dalam sejarahnya, pelatih asing tidaklah lebih baik daripada dalam negeri dari segi prestasi. Terbukti belum ada pelatih asing yang mampu memberikan satu pun trofi sejak tahun 1991, bahkan gelar Piala AFF U-19 dan AFF U-16 diraih oleh pelatih lokal (Indra Sjafri dan Fakhri Husaini).
Jika melihat dari peta persaingan di Asia Tenggara sendiri, terbukti bahwa pelatih lokal masih bisa bersaing dengan pelatih luar negeri. Dalam persaingan 4 tim terbaik di Piala AFF 2018, terdapat Malaysia yang mempercayai orang lokal dalam diri Tan Cheng Hoe di kursi kepelatihan.
Memang Timnas Indonesia di ajang Piala AFF kemarin mempercayakan nama lokal seperti Bima Sakti, tetapi pemain yang sempat dilatih Sven Goran Eriksson itu masih minim pengalaman di level internasional. Bahkan santer terdengar kabar jika pengganti Bima Sakti akan datang dari nama asing (lagi).
Jika begini terus, lama-lama pamor pelatih lokal akan tergusur oleh sikap apatis pemilik klub yang lebih percaya dengan pihak asing. Padahal menurut penuturan Rahmad Darmawan dalam sebuah acara di TV bahwa kualitas lokal dan asing nyaris sama.
2. Penyerang Lokal Tidak Kebagian Jatah di Liga 1
Tak hanya pelatih saja yang dikuasai pihak asing, daftar topskor di Liga 1 juga ternyata dipegang kendali pemain yang tidak lahir di Indonesia. Topskor saat ini dengan 20 gol, David da Silva adalah pemain berpaspor Brasil.
Nama penyerang asli Indonesia baru dapat ditemukan di peringkat kesebelas dalam diri Samsul Arif dengan koleksi 11 gol. Bayangkan 10 penyerang paling tajam di Liga 1 tidak ada nama pemain lokal sama sekali.
Oleh karena itu tidak heran apabila Timnas Indonesia sampai naturalisasi pemain asing untuk posisi penyerang tengah. Mulai dari Cristian Gonzales hingga Beto Goncalves, nama-nama yang menjadi andalan Timnas Indonesia ditengah minimnya penyerang lokal yang berkualitas.
Imbasnya sejak zaman Kurniawan Dwi Yulianto, praktis tidak ada penyerang lokal yang benar-benar dapat dijadikan andalan Timnas Indonesia. Praktis hanya Boaz Solossa saja yang masih masuk dalam kategori penyerang lokal berkualitas, tetapi ia juga sudah uzur dan harus dicari pengganti.
Mungkin kegagalan Timnas Indonesia untuk lolos ke semifinal Piala AFF yang sudah berjumlah 4 kali sejak 11 tahun yang lalu ada hubungannya dengan tidak adanya penyerang lokal. Mungkin yang harus disalahkan adalah klub yang selalu memberikan posisi penyerang pada pemain asing.
Para pelatih di kompetisi seperti enggan memberikan jatah menit bermain kepada para pemain lokal untuk berkembang. Jika alasannya adalah tidak ada penyerang lokal yang berkualitas, mungkin itu tidak relevan karena tidak ada pemain hebat yang lahir dari tidak diberikannya menit bermain oleh klub itu sendiri.
“Kalau saya jadi ketua PSSI, tidak akan ada pemain asing yang main di sini karena akan memakan tempat untuk pemain lokal berkembang,” ucap Justinus Lhaksana dalam akun YouTube-nya.
Bisa jadi solusi yang ditawarkan oleh Justinus Lhaksana untuk tidak adanya pemain asing yang main di Liga 1 bisa dipertimbangkan. Suka tidak suka, pemain asing yang diharapkan dapat menambah kemampuan pemain lokal malah jadi membunuh perkembangannya.
Pada akhirnya, tidak hanya mafia pengaturan skor saja yang berperan atas jebloknya Timnas Indonesia, tidak diberikannya putra asli daerah untuk unjuk gigi juga menjadi salah satu penyebab. Tapi balik lagi seperti yang diungkap Justin bahwa kuncinya ada di pembinaan yang harus bermutu sehingga penyerang lokal yang tersedia adalah pemain hebat.
Terus Ikuti Berita Sepak Bola Liga Indonesia Lainnya Hanya di INDOSPORT.COM