x

4 Momen Tak Terlupakan dalam Derby London Utara

Sabtu, 18 November 2017 14:18 WIB
Penulis: Alfia Nurul Fadilla | Editor: Joko Sedayu
Tottenham Hotspurs vs Arsenal

Dua raksasa London, Tottenham Hotspur dan Arsenal bakal berlaga di Emirates Stadium (18/11/17) pukul 19.30 waktu setempat. Pertemuan tersebut dikenal dengan istilah Derby London Utara, yang telah banyak merekam momen tak terlupakan sepanjang sejarah pertarungan kedua kesebelasan.

Pertama kali bertemu pada 19 November 1887 (Arsenal masih bernama Woolwich Arsenal), awal mula persaingan dua tim satu kota itu tercatat baru dimulai pada tahun 1913-1914. Saat itu, Arsenal pindah kandang dari Manor Ground, Plumstead menuju Arsenal Stadium, Highbury, yang jaraknya hanya sekitar enam kilometer saja dari White Hart Lane, stadion kebanggaan Tottenham.

Baca Juga

Tentu saja tiap kali Spurs dan The Gunners bertanding, gengsi demi menjadi yang terbaik di London Utara pun seketika muncul. Arsenal dengan basis pendukung multi-etnis terbanyak di Inggris bersaing dengan Tottenham Hotspur yang lekat dengan pendukung Yahudi atas nama harga diri.

Berikut INDOSPORT merangkum 4 momen tak terlupakan dalam Derby London Utara.

1. Adebayor dan Bendtner Berkelahi

Kekalahan 1-5 Arsenal atas Spurs di Piala Liga tahun 2008 silam menyisakan misteri yang hingga kini belum diketahui kebenaran kisahnya. Hidung Nicklas Bendtner berdarah usai cetak gol bunuh diri, dan Emmanuel Adebayor disebutkan menjadi penyebabnya.

Awal mulanya, kedua pemain berada di kotak penalti Arsenal untuk menggalang pertahanan saat Spurs mendapatkan sepak pojok. Skor saat itu masih Four-1 bagi Spurs, dan Bendtner mencetak gol bunuh diri.

Tak lama, hidung Bendter terlihat mengeluarkan darah. Pertanyaan besar kemudian muncul tatkala William Gallas melerai Bendtner dan Adebayor. Mengenai apakah Adebayor yang menyebabkan pendarahan tersebut, tak satu pun pemain menceritakan kejadian sebenarnya.

Emmanuel Adebayor dan Nicklas Bendtner saat bertengkar

2. Si Judas, Sol Campbell

Selain Graham, sosok Judas berikutnya adalah Sol Campbell. Jika Graham dianggap Judas oleh Arsenal, sebaliknya, Campbell adalah Judas bagi Spurs.

Momen gila bagi Campbell terjadi pada tahun 2001. Ia resmi berseragam Arsenal dengan standing bebas switch karena Spurs tak memperpanjang kontraknya. Selang beberapa kemudian, mantan bek tengah andalan timnas Inggris itu kembali ke White Hart Lane sebagai musuh untuk pertama kali.

Tekanan ia dapatkan sepanjang pertandingan. Teriakan Judas dan kata-kata kasar didengungkan oleh nyaris seluruh suporter Tottenham, bukan cuma orang dewasa, tapi juga anak-anak dan wanita.

"Semua orang seperti ingin membunuh saya. Laki-laki dewasa, wanita, anak kecil, orang berkulit hitam, putih, orang India. Pengalaman mengejutkan," kata Sol Campbell kepada Four Four Two tahun 2014 silam.

Sol Campbell

3. Emosi Fredrik 'Freddy' Ljungberg

Setahun berselang, kerasnya laga Derby London Utara tersaji di White Hart Lane. Arsenal tumbang 1-2 dari Tottenham Hotspur. Bukan kekalahan tersebut yang diingat, namun gestur kasar dari Freddy Ljungberg usai diusir wasit David Elleray.

The Gunners benar-benar gagal menahan emosi di laga tersebut. Bukan hanya Ljungberg yang dikartu merah, Martin Keown juga harus angkat kaki dari lapangan. Namun, Ljungberg mendapat hukuman lebih berat lantaran menunjukkan jari bertanda V kepada wasit, sebuah gestur yang dianggap kasar di Inggris.

Fredrik 'Freddy' Ljungberg

4. Kembalinya George Graham, sang Malaikat tak bersayap The Gunners

Sebelum Arsene Wenger 'menguasai' dinasti Arsenal, pernah ada satu sosok yang dipuja oleh Gooners, dia adalah George Graham. Enam trofi (dua Liga, dua Piala Liga, satu Piala FA, dan satu Cup Winner's Cup) dari delapan musim membuktikan kualitas Graham saat itu, sampai satu skandal memaksanya angkat kaki dari Highbury.

Graham terbukti menerima uang suap dari agen pemain asal Norwegia, Rune Hauge sebesar 425 ribu poundsterling. Uang tersebut diberikan Hauge agar Graham bersedia mendaratkan dua pemain, Pal Lydersen dan John Jensen. Tahun 1995, Arsenal pun memecatnya.

Tiga tahun berselang, atau tepatnya 1998, Arsenal menjamu Tottenham Hotspur di Highbury. Graham yang tadinya dielu-elukan oleh suporter mendadak dibenci dan dihujat karena datang sebagai pelatih Spurs. Spanduk bertuliskan Judas yang merujuk pada label pengkhianat dipasang di segala penjuru stadion.

Kedua tim kemudian bertanding, dan Graham bisa tersenyum sinis karena berhasil menahan Arsenal dengan skor tanpa gol. Tottenham yang saat itu belum sekuat sekarang menganggapnya sebagai kemenangan, pun dengan Graham.

George Graham
ArsenalLiga Primer InggrisTottenham HotspursIndospursArsenal Indonesia Supporter Club (AIS)Liga Inggris

Berita Terkini

- xem bóng đá trực tuyến - 90phut - cakhia - mitom