INDOSPORT.COM - Sejarah cenderung berulang, tak terkecuali dalam sepak bola. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Tanah Air, yakni pembubaran Liga 1 2020 oleh PSSI akibat force majeure berupa pandemi virus corona.
Berkaca dari sejarah, pembubaran Liga Indonesia bukan sekali ini saja terjadi. Setidaknya kompetisi pernah dua kali distop di tengah jalan dengan alasan yang berbeda, yakni edisi 1997-1998 (kasus mafia wasit dan kerusuhan) dan 2015 (konflik PSSI-Kemenpora).
Artinya, pembubaran Liga 1 2020 adalah kali ketiga sepanjang perjalanan kompetisi era profesional pasca-peleburan dua kutub sepak bola di Tanah Air, Galatama dan Perserikatan (1994-sekarang).
Di tiga kasus berbeda itu, terdapat tiga nama Ketua Umum PSSI yang ikut andil membubarkan Liga Indonesia. Mereka melakukannya karena tak punya pilihan lain, tapi tetap saja berdampak buruk kepada ketiganya secara pribadi.
Azwar Anas (1998), La Nyalla Mattalitti (2015), dan Mochamad Iriawan (2020) akan selamanya dikenang sebagai Ketum PSSI yang mengecewakan sebagian besar rakyat Indonesia penikmat sepak bola lantaran mereka telah membubarkan kompetisi.
Padahal, ketiganya punya jasa lain yang seharusnya patut diapresiasi, tapi seakan dilupakan lantaran tercoreng perkara 'sepele' pembubaran kompetisi.
Berikut redaksi berita olahraga INDOSPORT merangkum sepak terjang ketiganya secara terpisah, dimulai dari Azwar Anas (1998).
Azwar Anas, Sang Revolusioner
Di awal tulisan sempat dibahas sekilas mengenai era profesional pasca-peleburan dua kutub sepak bola di Tanah Air, Galatama dan Perserikatan (1994-sekarang).
Era profesional merupakan buah pikiran Azwar Anas. Dia berangkat dari niat mulia menyempurnakan kompetisi sepak bola nasional warisan semua Ketum PSSI terdahulu.
Perserikatan yang identik dengan fanatisme kedaerahan dilebur menjadi satu dengan Galatama yang solid di bidang manajemen klub profesional. Liga Indonesia atau Liga Dunhill (sesuai nama sponsor) pun bergulir mulai 1994.
Ironisnya, Azwar Anas pula yang menjatuhkan sepak bola Indonesia ke titik nadir sekitar empat tahun kemudian, meskipun faktanya bukanlah sepenuhnya kesalahan Sang Ketum.
Dia membubarkan Liga Indonesia akibat akumulasi dari berbagai problem, mulai dari situasi keamanan dalam negeri (kerusuhan 1998) dan skandal mafia wasit plus pengaturan skor.
"Membubarkan Liga Indonesia 1997-1998 adalah keputusan yang mahasulit, tapi harus dilakukan setelah melalui musyawarah demokratis," kata Azwar Anas sebagaimana dilansir buku "Sepak Bola Indonesia - Alat Perjuangan Bangsa" terbitan PSSI 2010.
Liga Indonesia 1997-1998 bubar saat belum lama memasuki putaran kedua. Kompetisi masih menggunakan format zonasi tiga wilayah yang masing-masing menempatkan Persebaya Surabaya (Barat), PSMS Medan (Tengah), dan PSM Makassar (Timur) sebagai pemuncak klasemen.
Selain Persebaya, PSMS, dan PSM, satu klub lain yang merugi akibat pembubaran Liga Indonesia 1997-1998 adalah Pelita Jaya. Klub milik Bakrie Group ini merupakan kandidat kuat juara berkat materi pemain yang mewah kombinasi bintang-bintang top, baik lokal maupun asing.
Mirisnya, pembubaran Liga Indonesia 1997-1998 seperti mengawali cobaan demi cobaan Azwar Anas sebagai Ketum PSSI kala itu, sampai akhirnya memutuskan mundur sebelum masa jabatannya berakhir.
Ada pun cobaan paling berat yang menimpa Azwar Anas yaitu Kasus Sepak bola Gajah di Piala Tiger (kini Piala AFF) 1998. Indonesia mendapat malu di mata internasional akibat 'main sabun' atau melakukan aksi pengaturan skor.
"Saya mungkin kuat menerima cobaan ini, tapi istri dan anak saya amat tertekan. Saya telah gagal dan memilih untuk mengundurkan diri," ujar Azwar Anas sembari memperkenalkan Agum Gumelar sebagai penggantinya kala itu.
- xem bóng đá trực tuyến - 90phut - cakhia - mitom