INDOSPORT.COM – Laga Chelsea vs Sevila menjadi laga ke-7 Mason Mount sebagai starter dengan total menit bermain sebanyak 584 menit. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah Mount dimainkan secara terus menerus karena dirinya anak emas atau korban dari taktik Frank Lampard?
Di laga perdana Grup E Liga Champions 2020/21, Chelsea memainkan formasi 4-2-3-1 di mana 4 pemain depannya merupakan pemain yang sama di laga sebelumnya saat melawan Southampton (17/10/20).
4 pemain yang jadi andalan The Blues di laga melawan Sevilla yakni Timo Werner, Kai Havertz, Christian Pulisic dan Mason Mount. Dari ke-4 nama ini, nama terakhir menjadi sorotan sejak musim 2020/21 dimulai.
Mount adalah pemain akademi Chelsea. Sejak usia 6 tahun, ia telah bergabung dengan The Blues. Layaknya mimpi para pemain akademi, ia ingin menembus skuat utama dan bermain penuh.
-Hal ini tercermin dari pengakuan sang ayah, Tony Mount. Sang ayah skeptis dengan karier Mount di Chelsea. Sebab, sejak John Terry, belum ada pemain akademi The Blues yang mampu bermain reguler di skuat utama.
Namun Mount membantahnya dan menunjukkan optimismenya bahwa ia bisa menjadi starter di skuat utama Chelsea meneruskan kiprah John Terry yang berakhir menjadi legenda klub.
-Sejenak, apa yang jadi harapan Mount tercapai di sejak musim 2019/20 lalu atau setelah Frank Lampard menjadi pelatih. Dalam 1 musim, ia tampil sebanyak 53 kali di semua ajang bagi Chelsea.
Bahkan untuk musim 2020/21 ini saja, Mount telah tampil sebanyak 7 kali dengan torehan 584 menit dan menjadi salah 1 penampil terbanyak untuk The Blues sejauh ini.
Namun, di balik banyaknya laga yang Mount mainkan, membuat kemampuannya dalam bermain mulai dipertanyakan. Terutama di awal musim 2020/21 ini.
Sebagai contoh di laga melawan Sevilla saja. Mount yang beroperasi di lini sayap kiri, tak bisa berbuat banyak dan kesulitanmenaklukan Jesus Navas yang berusia 13 tahun di atasnya.
Bahkan di laga melawan Sevilla, Mount menjadi pemain yang paling sering kehilangan bola (10 kali) dan hanya sekali saja melepaskan umpan kunci. Ini menjadi catatan buruk bagi pemain yang bermain di winger kiri.
Memang, winger kiri bukanlah posisi natural Mason Mount. Lantas, jika kreatifitasnya sebagai gelandang bernomor 10 tersendat di posisi itu, mengapa Frank Lampard terus memainkannya sebagai winger? Apakah karena ia anak emas Lampard atau hanya sekedar korban taktik?
Musim 2020/21 menjadi musim ke-3 Mount bersama Lampard. Keduanya telah bekerja sama sejak musim 2018/19 silam kala pelatih berusia 42 tahun itu menukangi Derby County.
Ketergantungan Lampard kepada Mount bahkan sudah terlihat jauh sejak di Derby County. Bersama The Rams, Mount tampil sebanyak 44 laga di segala ajang pada musim 2018/19.
Jika dikalkulasikan hingga saat ini, maka total 104 laga telah dimainkan Mount sejak musim 2018/19 bersama Lampard. Sebuah catatan yang membuktikan betapa percayanya Lampard terhadap Mount.
Namun kepercayaan Lampard kepada Mount sendiri lama kelamaan menjadi bumerang, setidaknya bagi permainan Chelsea dan Mount sendiri.
Mungkin di musim 2019/20, terbatasnya kreatifitas Mason Mount tak begitu terlihat. Toh ia kerap menjadi penyelamat atau pencetak gol bagi Chelsea.
Akan tetapi, di awal musim 2020/21 ini, Mount nampak menjadi duri dalam daging permainan Chelsea. Entah hal ini memang karena performanya atau karena taktik Lampard.
Secara performa, apa yang ditampilkan Mount jauh dari kata kreatif. Dalam 7 pertandingan di awal musim 2020/21, ia hanya mencetak 1 gol dan 2 assist saja di berbagai ajang.
Bahkan buruknya performa dan catatannya kian terlihat saat dirinya bermain sebagai winger dalam formasi 4-2-3-1. Kreatifitasnya jauh dari kata apik, dan malah terkesan buruk sehingga membuat serangan Chelsea harus dibangun dari sisi lainnya.
Saat melawan Sevilla, Mount kehilangan bola sebanya 10 kali sebagai winger kiri. Bahkan di laga melawan Southampton, di posisi yang sama ia kehilangan bola sebanyak 13 kali. Untuk pemain di posisi winger, catatan itu bisa dikatakan sangat dan teramat buruk.
Sebagai pelatih, tak mungkin Lampard tak melihat buruknya statistik Mount sebagai winger kiri. Namun mengapa Lampard terus meminkannya di posisi itu? Dari sinilah anggapan bahwa Mount memang benar-benar menjadi anak emas Lampard.
Lampard terlihat memaksakan Mount bermain sebagai starter dan mengorbankan winger natural seperti Christian Pulisic dan Callum Hudson-Odoi.
Sebagai catatan, Hudson-Odoi jarang mendapat menit bermain tanpa diketahui alasannya. Sedangkan Pulisic, sejak sembuh dari cedera, banyak beroperasi sebagai winger kanan kendati performa terbaiknya banyak ditampilkan saat menjadi winger kiri (contoh di laga melawan Liverpool 2019/20).
Dari sini saja sudah dapat diraba, ada apa di antara Lampard dan Mount? Mengapa pula Lampard lebih memilih mengakomodir Mount sebagai winger kiri di 2 laga terakhir Chelsea ketimbang Pulisic yang telah fit dan memang moncer di posisi itu?
Jika benar Mason Mount adalah anak emasnya, ada baiknya Frank Lampard mulai menghapus hubungan tersebut untuk kebaikan dirinya, Mount dan juga Chelsea. Jika karena taktik, ada baiknya pula Lampard mulai berbenah dan berhenti membuat Mount bermain di luar posisi naturalnya.
- xem bóng đá trực tuyến - 90phut - cakhia - mitom