INDOSPORT.COM - Ligue 1 Prancis akhirnya menyusul Eredivisie Belanda untuk menyudahi kompetisi musim 2019-2020 di tengah jalan. Keputusan ini diambil setelah pemerintah Prancis melarang pertandingan sepak bola sampai paling lambat bulan September mendatang.
Bedanya dengan Liga Belanda, Ligue 1 Prancis telah menemukan juaranya. Federasi Sepak Bola Prancis (LFP) menobatkan Paris Saint Germain sebagai juara musim ini.
Skuat asuhan Thomas Tuchel itu saat ini sedang melesat memimpin klasemen sebelum wabah virus corona melanda Prancis dan Eropa.
Sebagai penentu juara, LFP menggunakan skema poin rata-rata alias poin per laga untuk menentukan hasil akhir. Caranya adalah dengan membagi total poin yang didapat sebuah klub dengan jumlah pertandingan yang mereka sudah jalani musim ini.
-Hasil akhirnya sendiri tidak banyak berubah. Pasalnya, cuma dua dari 20 tim yang baru memainkan 27 laga, sisanya sudah 28 laga. Itu artinya hampir tidak ada perubahan dari klasemen sebelum mewabahnya virus corona.
Selain PSG, dua jatah liga Champions lainnya diberikan kepada Marseille dan Rennes yang masing-masing finis di posisi ke-2 dan 3. Sementara tiga tim degradasi adalah Nimes, Amiens, dan Toulouse.
-Gelombang Protes Klub
Akan tetapi, keputusan LFP untuk menghentikan liga tidak melegakan hati semua klub peserta. Ada setidaknya dua klub yang mengajukan gugatan resmi kepada otoritas olahraga setempat.
Dua klub itu adalah Olympique Lyon dan Amiens SC. Lyon menilai keputusan dari LFP terlalu terburu-buru. Keputusan LFP itu dianggap tak memenuhi unsur keolahragaan serta sportivitas yang disyaratkan UEFA.
"Pemerintah (Prancis) sebenarnya tidak dalam posisi mengharuskan agar Ligue dan Ligue 2 segera dihentikan. Menteri Olahraga, Roxana Maracienanu, sebelumnya bahkan menyebut liga bisa saja dimainkan di bulan Agustus jika kondisi kesehatan memungkinkan," tulis pernyataan resmi Lyon.
Lyon sendiri merasa dirugikan baik secara teknis maupun finansial. Pasalnya, untuk pertama kalinya sejak 1997, klub Olympique Lyon gagal menembus zona Eropa.
Saat ini Lyon berada di posisi ketujuh klasemen. Secara matematis peluang mereka untuk finis di zona Liga Europa masih sangat besar karena hanya berselisih satu angka dari Reims di posisi 6.
Selain Lyon, klub Amiens juga melayangkan protes. Mereka tak terima harus terdegradasi padahal masih punya peluang lolos.
LFP dianggap terlalu sewenang-wenang. Ligue 1 tak seperti Eredivisie Belanda yang tidak menetapkan tim juara dan degradasi.
Apa Jadinya Jika Diterapkan di Serie A, Premier League, dan LaLiga?
Akan jadi cerita yang berbeda jika kebijakan LFP diikuti oleh tiga liga elite Eropa lainnya, yakni Serie A Italia, Liga Primer Inggris, dan LaLiga Spanyol.
Satu hal yang pasti, akan terjadi banyak perubahan pada klasemen Serie A dan Premier League, jika federasi setempat menggunakan sistem poin rata-rata per laga.
Sebab, klub-klub yang bermain di dua liga itu belum seragam dalam jumlah pertandingan. Di Inggris misalnya, ada 16 tim yang sudah menjalankan 29 laga. Sementara empat lainnya masih 28 laga.
Maka akan jadi sebuah keuntungan bagi tim-tim yang bermain lebih sedikit. Sheffield United misalnya, mereka akan finis di enam besar (zona Liga Europa) menyalip Newcastle yang sudah melakoni 29 laga.
Keduanya saat ini sama-sama mengoleksi 43 poin di mana Newcastle duduk di posisi keenam, sedangkan Sheffield di posisi ketujuh.
Hal lebih rumit terjadi di Serie A lantaran 8 klub di sana masih memainkan 25 laga. Perubahan cukup signifikan terjadi di klasemen andai menggunakan sistem pembagian poin per laga.
AC Milan jadi salah satu yang dirugikan. Andai menggunakan sistem perhitungan tersebut, Milan yang saat ini ada di posisi ke-7 harus melorot ke peringkat ke-10. Sebab, dua tim di bawah mereka, Verona dan Parma, baru bermain 25 laga dan saat ini cuma berselisih satu poin dari Milan.
Sementara untuk LaLiga perubahan tak akan dirasakan sama sekali di klasemen karena semua tim peserta sudah melakoni 27 pertandingan.
Namun, bukan soal peringkat klasemen saja yang jadi sorotan. Pasalnya, dua dari tiga liga tersebut, yakni Serie A dan LaLiga, masih memiliki persaingan ketat di tangga juara.
Menjadi sebuah keuntungan bagi Juventus andai sistem penghitungan Ligue 1 digunakan, sebab mereka tengah memimpin klasemen. Begitu juga dengan Barcelona yang tengah memimpin klasemen di atas Real Madrid.
Padahal, keduanya masih bersaing ketat dengan rival masing-masing. Juventus (63 poin) misalnya, cuma berselisih 1 poin saja dari Lazio (62). Sedangkan Barcelona (60) hanya berselisih dua angka dari Real Madrid (58). Gelombang protes dipastikan akan datang dari Lazio, Real Madrid, maupun tim-tim lainnya.
Maka dari itu, penerapan aturan di Ligue 1 sangat tidak adil untuk Serie A dan LaLiga. Lebih masuk akal jika mereka mengikuti aturan di Eredivisie Belanda yang tak tidak menetapkan juara dan degradasi musim ini.
Play Off
Sebagai gantinya, apabila liga tak bisa dilanjutkan, maka opsi play off jadi pilihan paling masuk akal. Opsi ini sendiri pernah ditawarkan FIGC beberapa waktu lalu.
Meski saat itu dianggap sebagai opsi mengada-ngada, namun seiring waktu kemungkinan digelarnya Play Off semakin besar. Sistem ini dirasa adil baik bagi Serie A maupun LaLiga.
Tiga atau empat tim teratas klasemen bakal saling memperebutkan tangga juara. Sementara empat tim terbawah akan bertarung untuk menghindar dari zona degradasi.
Klub Lazio sendiri beberapa hari lalu menyatakan siap untuk melakoni partai play-off melawan Juventus. Bahkan mereka mengajak Inter Milan dan Atalanta yang notabene tertinggal jauh untuk ikutan dalam play off.
"Bicara keadilan, maka tim seperti Inter yang tertinggal delapan poin dari kami atau Atalanta tertinggal 14 poin, menurut saya harus diikutsertakan jika memang memungkinkan," ujar Presiden Lazio, Claudio Lotito, kepada La Republicca.
- xem bóng đá trực tuyến - 90phut - cakhia - mitom