INDOSPORT.COM - Mulai dari bahasa hingga mahalnya biaya hidup, berikut kisah suka dan duka para pemain Indonesia yang memutuskan berkarier di luar negeri.
Mencicipi kompetisi di luar Indonesia mungkin menjadi mimpi bagi sebagian pesepakbola Tanah Air, apalagi jika melihat kondisi kasta tertinggi Liga Indonesia saat ini yang masih sangat jauh dari kata profesional.
Bermain di kompetisi luar juga dapat memberikan pengalaman lebih serta menaikkan kemampuan individu para pemain. Selain itu fasilitas latihan serta prasarana lain di luar lapangan yang cukup mewah menjadi alasan kenapa banyak bakat muda memilih mentas di luar negeri.
Namun untuk mendapatkan kesempatan main di luar negeri, para pemain sepak bola khususnya yang berasal dari Indonesia harus melalui jalan terjal, bahkan beberapa pengorbanan secara fisik hingga materil harus rela dikeluarkan.
Lebih lengkapnya berikut redaksi berita olahraga INDOSPORT coba mengulas serta merangkum, cerita suka dan duka para pemain muda Indonesia saat berjuang mendapatkan kesempatan tampil di kompetisi luar negeri.
Sempat Kelaparan dan Kedinginan
Kisah pertama datang dari Jack Brown yang kini memperkuat klub Lincoln FC di kasta ketiga Liga Inggris musim 2019/20.
Pemain berusia 17 tahun tersebut memang berhasil mencuri perhatian terutama pada 2006 silam. Saat itu ia berhasil menjadi pemain terbaik dalam ajang Manchester United Soccer School (MUSS) di Dubai, Uni Emirat Arab.
Meski bermain di kasta ketiga Liga Inggris dan memulai karier dari tim U-18, namun penampilan Jack Brown bersama The Imps musim ini patut mendapat apresiasi tinggi.
Jack Brown bahkan berhasil mencetak gol perdana untuk Lincoln City U18 pada 28 September 2019 lalu. Gol tersebut ia sumbangkan saat timnya menang 5-0 atas Huddersfield Town di ajang Youth Alliance League.
Walau kariernya tengah melambung, perjuangan berat pernah dirasakan Jack Brown sebelum bergabung dengan Lincoln FC, bahkan Jack Brown pernah menangis kelaparan saat menjalani trial.
"Untuk mendaftarkan akademi di Inggris, mereka harus terpilih dari beberapa kali seleksi. Dulu Jack pernah dipanggil seleksi untuk Southend Academy FC. Selama 6 bulan dia harus datang seminggu 2 kali," ucap Indah Brown selaku ibunda Jack kepada redaksi INDOSPORT.COM.
“Karena kita tidak tinggal di sana (Southend) jadi Jack hanya diantar taxi. Kadang waktu lagi salju dia kelaparan dan kedinginan nungguin taksi yg telat datang. Sampai di Asrama, makanannya sudah dingin. Kadang dia menangis kelaparan, untung ada George (kakak Jack Brown) yang bantu dia bikin mie instan atau bikin susu coklat," tambah Indah.
Beruntung masa kelam Jack Brown saat menjalani trial terbayar setelah musim ini ia mendapat kontrak profesional bersama Lincoln FC. Andai terus tampil konsisten bukan tak mungkin Jack dapat menembus tim utama.
Bahasa, Modal Besar, dan Homesick
Selain Jack Brown, cerita menarik juga dialami Yussa Nugraha, salah seorang pemain muda Indonesia lain saat mencoba peruntungan tampil di kompetisi luar negeri.
Pemain yang saat ini sedang memperkuat tim kasta keempat Liga Belanda, HBS Craeyenhout ini mengaku mengalami kesulitan komunikasi saat awal-awal kariernya di Negara Kincir Angin.
Selain adaptasi bahasa dan cuaca, modal besar juga dibutuhkan para pemain muda di luar negeri bahkan dalam setahun Yussa Nugraha harus mengeluarkan biaya hingga ratusan juta rupiah.
"Adaptasi tidak banyak kendala, cuma 4 bulan dari awal datang ada kesulitan bahasa, tapi karena sekolahku memakai 2 bahasa (belanda dan inggris) jadi Alhamdulillah sekarang sudah terbiasa.”
“Biaya hidup per musim/tahun aku selama di Belanda kisaran Rp100-120 juta, itu sudah termasuk tempat tinggal, makan, dan transport," ucap Yussa Nugraha.
Kisah duka juga dialami Arthur Irawan, pemain yang kini memperkuat tim Perseru Badak Lampung FC tersebut merasa kesulitan berkomunikasi saat memperkuat RCD Espanyol B dan Malaga U-19 di Liga Spanyol tahun 2013 silam.
"Pas di Spanyol saya harus belajar bahasanya, tapi setelah itu semua lancar, kita cuma harus terus berjuang, tak patah semangat dan ada attitude yang mau belajar sebanyak mungkin," ucap Arthur Irawan.
Beruntung Arthur yang juga pernah memperkuat tim Belgia, Waasl.-Beveren ini tak membutuhkan biaya banyak selama bermain di luar negeri lantaran tim telah memberikan budget sendiri untuk tempat tinggal dan makan selama semusim.
"Sama tim kita dikasih budget untuk apartemen dan makanan juga bisa makan di klub, jadi banyak biaya hidup ditanggung klub. Sisanya kalau tidak latihan saya istirahat jadi gak keluar duit banyak," lanjut Arthur.
Selama tiga tahun mencoba peruntungan bermain di luar negeri, Arthur Irawan pun sering merasa homesick. Namun demi karier sepak bolanya, terpaksa pemain 26 tahun tersebut harus mengorbankan perasaan itu.
"Pasti ada momen-momen yang kita kangen keluarga dan rumah, tapi saya rasa demi karier kita kadang-kadang harus korbankan kenyamanan kita," tutupnya.
Meski mengalami berbagai duka dan pengorbanan, namun ketiga pemain lokal tersebut patut berbahagia lantaran usaha mereka sebelumnya berhasil membuahkan hasil untuk karier sepak bola mereka saat ini.
- xem bóng đá trực tuyến - 90phut - cakhia - mitom