Termasuk Polisi dan Suporter, Ini 5 Pihak yang Bertanggung Jawab di Tragedi Kanjuruhan
INDOSPORT.COM - Tragedi Kanjuruhan adalah insiden terparah dalam sejarah sepak bola Indonesia usai menewaskan lebih dari 180 jiwa. Awalnya sebatas Big Match Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/22).
Saling tuding soal siapa paling bertanggung jawab atas musibah ini sejak awal sudah ramai, namun sebenarnya akar permasalahan terlalu meluas untuk menyalahkan satu pihak saja.
Polisi yang berjaga di Stadion Kanjuruhan dianggap sebagai biang keladi utama. Cara mereka menertibkan massa dinilai menyalahi aturan.
Tidak cuma mengandalkan kekerasan fisik dengan pakaian serta peralatan anti huru-hara, polisi juga dikritik karena penggunaan air gas air mata.
Padahal, FIFA jelas sudah menulis larangan pemakaian senyawa tersebut karena di tempat yang sempit seperti tribun stadion, penggunaannya bisa semakin membuat keadaan semakin kacau.
Ditambah lagi, mereka yang tidak ikut terlibat dalam kerusuhan pun sangat rentan ikut menghirup gas tersebut usai polisi menembakkan amunisi mereka secara membabi buta.
Tidak heran jika dalam daftar korban tewas kebanyakan adalah wanita dan anak-anak hingga remaja. Polisi jelas tidak bisa lepas tangan apalagi mencucinya dengan alasan terdesak.
Penyerbuan suporter ke dalam lapangan seperti di Kanjuruhan memang bukan perbuatan terpuji dan juga melanggar aturan, namun bisa saja ditertibkan dengan cara yang lebih manusiawi.
Invasi suporter ke dalam lapangan masih sering terjadi di belahan dunia lain, namun tidak pernah terdengar sampai harus menumbalkan banyak jiwa.
Namun sesalah dan seberdosa apapun pihak berwajib, mereka tidak akan pamer aksi brutal jika tidak dipicu suatu hal. Mereka yang menerobos masuk ke lapangan terutama provokator, juga punya andil besar dalam tragedi Kanjuruhan.
1. Suporter Tuan Rumah Juga Salah
Publik di media sosial kerap kali terlalu cepat menjadikan federasi atau badan hukum sebagai biang dari sebuah masalah. Mungkin itu karena kejadian yang sudah-sudah memang berawal demikian namun tetap saja itu tidak benar.
Tidak ada asap tanpa api. Tidak akan ada Tragedi Kanjuruhan apabila suporter tetap tenang di tribun walau tim yang mereka dukung mendapat hasil yang tidak diharapkan.
Fans Arema FC diduga kuat adalah mereka yang menyerbu ke dalam lapangan sebagai bentuk protes mereka usai Singo Edan digebuk Persebaya Surabaya 2-3.
Awalnya hanya segelintir, namun kemudian jumlahnya semakin membludak. Awalnya hanya ada yang mengajak, lalu seolah emosi yang lain ikut meledak-ledak.
Inilah pertanda bahwa sebenarnya level kestabilan emosi suporter dalam negeri masing sangat rendah dan belum mengalami peningkatan sejak berpuluh tahun.
Alhasil, mereka yang rajin menonton laga sepak bola langsung di stadion kerap kali dicap tidak tertib. Sepak bola memang lahir dari kalangan bawah, namun bukan berarti penikmatnya tidak bisa punya wibawa, bukan?.
Memang apa yang didapat dengan menyerbu lapangan dan memukuli pemain sendiri serta merusak fasilitas?. Mau sampai mati tiga kali pun tripoin tetap diberikan pada si pemenang.
Protes terhadap hasil buruk bisa dilakukan dengan cara lebih baik. Silakan mengancam, namun jangan sampai kelewat batas hingga mengorbankan nyawa orang lain.
Tragedi Kanjuruhan cepat atau lambat akan dilupakan. Histeria dan kesedihan masyarakat perlahan dijamin hilang namun tidak dengan keluarga para korban.
Bisa jadi dari mereka harusnya bisa lahir bintang-bintang sepak bola besar masa depan namun karena trauma kejadian ini takdir berbelok ke arah lain.
2. Dosa Mereka yang di Balik Layar
Kini giliran mereka yang kelihatannya tidak ada di lokasi kejadian namun tetap punya dosa besar yakni PSSI, PT LIB, dan juga panitia pelaksana pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Panpel diketahui sudah mencetak 42.000 tiket yang membuat Stadion Kanjuruhan dengan kapasitas 4.000 lebih sedikit menjadi penuh sesak. Seolah mereka meremehkan risiko kapasitas berlebih.
Sepertinya mereka lupa, atau memang malas tahu, bawah salah satu bencana stadion terbesar dalam sejarah, yakni Tragedi Hillsborough, disebabkan oleh penumpukkan massa yang terlalu banyak.
Memang konteks dan jenis kecelakaanya berbeda namun bisa saja jumlah korban tragedi Kanjuruhan bisa ditekan andai panpel taat pada pertauran.
PT LIB juga berhak disalahkan karena seolah kehilangan taringnya di hadapan penyiar, dalam kasus ini Indosiar, dalam hal pengaturan jam sepak mula.
Padahal, Polres Malang dan panpel sudah meminta kick-off dipercepat demi memudahkan pengamanan stadion. PT LIB memilih untuk bergeming padahal semakin larut pertandingan semakin besar resiko ancaman keselamatan bagi fans, polisi, dan panpel.
Untuk PSSI, harusnya mereka malu karena walau sudah berdiri hampir satu abad namun belum bisa juga menghentikan atau sekedar menekan tingkat kematian suporter karena rusuh.
Federasi Indonesia terkenal lembek dalam menjatuhkan sanksi ataupun mengambil sikap. Instruksi penundaan sepekan pertandingan setelah Tragedi Kanjuruhan itu dianggap tidak tepat guna.
Seharusnya PSSI berani untuk menghukum dengan pengurangan poin, degradasi, atau bahkan pembekuan dan pembubaran bagi klub yang berbuat onar. Masalahnya denda mahal saja saat ini belum cukup membuat para oknum tersebut sadar.
Akhir kata, di balik musibah pasti ada hikmahnya. Tinggal bagaimana Polisi, suporter, PSSI, PT LIB, dan panpel pertandingan bersikap ke depannya setelah dihadapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelajaran. Apalah membaik atau justru jadi bahan kliping semata?.