Anomali Chelsea: Menderita untuk Menang, Dominan untuk Tumbang
INDOSPORT.COM – Chelsea memanglah tim yang aneh. Anomali tersebut terasa dalam kurun waktu kurang dalam sepekan terakhir di mana The Blues harus menderita untuk menang namun juga tumbang meski dominan di dua laga terakhirnya.
Chelsea kembali ke jalur kemenangan dalam lawatannya ke Roman Sanchez Pizjuan dalam leg pertama Liga Champions 2020/21.
Dalam kunjungannya kali ini, Chelsea meraih kemenangan 2-0 atas tuan rumah FC Porto yang memang harus menjalani laga kandang di tempat netral atau markas Sevilla.
Chelsea mampu memastikan kemenangan lewat dua gol yang masing-masing diciptakan Mason Mount dan Ben Chilwell di babak pertama dan babak kedua.
Kemenangan 2-0 atas FC Porto membuat langkah Chelsea untuk melaju ke semifinal kian terbuka lebar. Sebab, The Blues telah mengantongi dua gol tandang dari lawannya.
Kemenangan ini juga membawa Chelsea kembali ke jalur positif setelah sebelumnya dibuat malu di Liga Inggris kala menjamu West Bromwich Albion.
Melawam tim zona merah atau di zona degradasi, Chelsea harus rela gawangnya kebobolan lima kali dan hanya mampu membalas dua gol saja.
Kekalahan itu terasa menyakitkan mengingat status lawannya yang merupakan tim papan bawah dan mengingat laga digelar di markas Chelsea sendiri yakni Stamford Bridge.
Apalagi sebelum menjamu West Brom, Chelsea bersama Thomas Tuchel belum terkalahkan dalam 14 laga dengan kebobolan dua gol saja. Naas, di laga ke-15 kekalahan perdana datang diiringi lima gol ke gawang Edouard Mendy.
Hasil yang didapat di laga melawan West Bromwich Albion dan FC Porto dalam kurun waktu enam hari terakhir menjadi cerminan bahwa anomali Chelsea masih berlanjut.
1. Anomali Chelsea
Saat Maurizio Sarri datang, pria asal Italia ini merasa aneh dengan anomali atau kejanggalan Chelsea, terutama saat berkompetisi di Liga Inggris.
Sarri menilai perjalanan Chelsea terlihat seperti anomali yang sulit dijelaskan. Sebab, The Blues selalu kesulitan mempertahankan kualitas tim.
“Sejarah klub ini (Chelsea) sedikit aneh. Pada 2014/15, saya pikir ada 87 poin, lalu di musim 2015/16 hanya 50 poin. Itu sangat aneh, dengan pelatih yang sama dan (komposisi) pemain yang sama,” ujar Sarri dikutip dari Four Four Two.
“Lalu di musim 2016/17 meraih 93 poin, di musim 2017/18 hanya 70 poin dengan pelatih dan tim yang sama. Jadi poin yang diraih tim ini cukup aneh,” terang Sarri saat di awal menukangi Chelsea.
Memang Chelsea adalah klub yang aneh. Sebagai tim papan atas dan bertabur bintang sejak diakuisisi Roman Abramovich, The Blues seharusnya tampil dominan. Tapi malah setiap gelar yang diraih didapat dari permainan yang biasa-biasa saja dan cenderung menderita (defensif).
Sejak Abramovich datang, taipan asal Rusia ini ingin membuat Chelsea disegani. Maka, ia mendatangkan pelatih sekaliber Jose Mourinho dan deretan pemain bintang nan mahal.
Memang prestasi didapat. Namun, cara Chelsea meraih prestasi dilakukan dengan hal sedikit kotor yakni bermain Pragmatis atau defensif. Tak pelak pelatih sekelas Sir Alex Ferguson menyebut bahwa bertahan membuat sebuah tim meraih gelar.
“Menyerang membuatmu memenangkan pertandingan, bertahan membuatmu memenangi gelar,” begitu kurang lebih kutipan dari Sir Alex Ferguson.
Sejak 2004, Chelsea dengan materi apik malah cenderung bermain pragmatis dan terbukti dengan beragam gelar. Bukti nyata terlihat saat menjuarai Liga Champions 2011/12.
Di musim tersebut, Chelsea unjuk kualitas dalam bertahan terutama saat babak semifinal melawan Barcelona dan final melawan Bayern Munchen.
Di musim berikutnya atau 2012/13, Chelsea kembali unjuk gigi dengan gaya permainan pragmatis dengan pelatih berbeda (Rafael Benitez) hingga mampu meraih titel Liga Europa usai membekuk Benfica di final dengan skor 2-1.
Sejatinya, Abramovich ingin merubah stigma timnya yang pragmatis dan menjadi tim yang menghibur. Namun, harapan itu tak tercipta seiring adanya penolakan dari Pep Guardiola.
Chelsea yang sarat prestasi berkat permainan pragmatisnya pun berlanjut saat Jose Mourinho datang di 2013 dan Antonio Conte di musim 2016/17.
Kedatangan Conte pun menunjukkan secara jelas bahwa Chelsea memang harus menderita untuk meraih kemenangan. Hal ini didapat dari pengakuan Conte sendiri yang meminta anak asuhnya menderita (Suffer) di setiap laga pada musim 2017/18.
Perubahan sempat hadir saat Sarri yang bertipikal pelatih dengan gaya bermain menyerang datang. Namun, kehadirannya mendapat penolakan. Bisa dikatakan, pendukung Chelsea terlalu nyaman dengan pola permainan pragmatis yang membuahkan prestasi.
Meski Sarri berhasil mengantarkan Chelsea menjuarai Liga Europa, namun permainan menyerangnya dicap ‘Boring’ bahkan gaya permainan ‘Sarri-Ball’ dicemooh di stadion.
Dari sana, anomali Chelsea terlihat. Jelas bahwa The Blues lebih cocok menang dengan cara menderita ketimbang mendominasi namun tumbang.
Laga melawan West Brom dan FC Porto menjadi gambaran jelas lainnya anomali Chelsea di era Abramovich di mana saat mendominasi melawan West Brom, The Blues malah tumbang.
“Kami (Chelsea) akan menang jika menghadapi West Brom 99 kali lagi. Kami menang di banyak area seperti umpan, penguasaan bola, statistik bahkan Expected Goals (xG),” tutur Tuchel pasca tumbang melawan West Brom.
Namun, saat mengeluh dengan performa timnya yang di bawah standar (cenderung pragmatis) kala melawan FC Porto, malah Chelsea menang dengan meyakinkan. Sebagai catatan, The Blues kalah dalam segi nilai xG (nilai peluang menciptakan gol) dengan nilai 1.90 xG untuk FC Porto dan nilai 1.71 xG untuk Chelsea.
“Kami senang mendapat dua gol. Tapi sulit bagi kami menciptakan peluang di kotak lawan, mencari ritme yang tepat. Pada akhirnya kami mendapat hasil yang apik,” ujar Tuchel.