Wacana Liga 1 2021 Balik Pakai Format Zonasi, Kemunduran atau Kemajuan?
INDOSPORT.COM - Sepak bola Indonesia tengah memasuki masa paceklik akibat pandemi virus corona. Kompetisi yang seharusnya sudah bergulir harus berkali-kali dijadwal ulang, bahkan ujung-ujungnya dibatalkan juga oleh PSSI pada 20 Januari silam.
Liga 1 2020 dipastikan bubar di tengah jalan tanpa memunculkan juara maupun pesakitan degradasi. Musim baru lantas diagendakan berlangsung setelah lebaran alias Hari Raya Idul Fitri, sekitar Mei atau Juni mendatang.
Meski memastikan bakal menggelar Liga 1 2021, PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator belum menentukan formatnya akan seperti apa mengingat kompetisi nantinya berputar di tengah pandemi virus corona.
Opsi-opsi pun bermunculan, mulai dari sentralisasi di Pulau Jawa sesuai rencana PSSI ketika bersikukuh ingin melanjutkan Liga 1 2020 tahun lalu hingga kembali menggunakan format zonasi (pembagian wilayah).
Terkait opsi yang disebut terakhir, artinya Indonesia akan menanggalkan sistem satu wilayah sekaligus balik lagi ke zaman dulu sebelum era Liga 1 (kelahiran kembali Liga Indonesia pasca-lepas dari sanksi FIFA).
Sekadar mengingatkan, Liga Indonesia sempat lumayan lama identik dengan format zonasi semenjak memasuki era profesional pasca-peleburan kompetisi Perserikatan (1930-1994) dan Galatama (1979-1994) pada medio 1994.
Saat kasta tertinggi masih bernama Divisi Utama (1994-2008), Liga Indonesia hampir selalu memakai format zonasi, entah itu dua (1994-1995, 1995-1996, 1999-2000, 2001, 2002, 2005, 2006, 2007-2008), tiga (1996-1997, 1997-1998), atau lima wilayah (1998-1999).
Anomali hanya pernah terjadi dalam dua kesempatan, yaitu 2003 dan 2004, yang menyatukan klub-klub elite Indonesia ke dalan satu wadah besar. Persik Kediri dan Persebaya Surabaya keluar sebagai juara masing-masing musim tersebut.
Kecenderungan berubah saat memasuki era Indonesia Super League (ISL) periode 2008-2015 yang lebih mengutamakan format satu wilayah, meski sempat semusim 'membelot' ke format zonasi dua wilayah edisi 2014 karena pertimbangan situasi dalam negeri waktu itu.
Warisan era ISL lantas kembali dipakai oleh Liga 1. Sejak pertama kali berputar pada 2017, kompetisi kasta tertinggi Indonesia selalu menerapkan format satu wilayah (18 klub) yang memang jamak digunakan oleh negara-negara lain, terutama Eropa sebagai kiblat sepak bola dunia.
Nah, setelah pandemi virus corona memporak-porandakan jagat sepak bola nasional, puncaknya Liga 1 2020 tidak tuntas akibat dibubarkan PSSI, wacana menggelar musim baru dengan format zonasi kembali mencuat ke permukaan.
Apalagi, kondisi geografis Indonesia yang wilayahnya luas dan berbentuk kepulauan mendukung penerapan kompetisi model zonasi. PSSI bisa berkaca kepada Liga Amerika Serikat (MLS).
Berdasarkan data situs ternama Statista, Amerika Serikat merupakan negara paling besar ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada. Masuk akal bila kemudian MLS menggunakan format dua wilayah (Eastern dan Western) untuk mempermudah akses dan mobilisasi klub-klub peserta.
Bagaimana dengan Rusia selaku negara paling luas di dunia? Liga Super Rusia mempertahankan format satu wilayah selama bertahun-tahun lantaran sebagian besar, bahkan seluruh klubnya berkumpul di wilayah barat sehingga tak ada urgensi untuk memecahnya menjadi dua wilayah.
Lalu Kanada? Sepak bola di sana kurang begitu populer sehingga klubnya terhitung sangat sedikit. Tercatat hanya 10 peserta Liga Kanada (CSL) 2019, belakangan malah dikurangi separuhnya (5) pada edisi 2020, jadi tidak perlu sampai dipecah dua wilayah.
Wacana dua wilayah tentu berpotensi menimbulkan pro dan kontra di kalangan peserta Liga 1 2021. Format zonasi punya kelebihan dan kekurangan berdasarkan pengakuan sejumlah pelaku sepak bola nasional.
Ada pun kelebihannya yaitu mengurangi biaya perjalanan karena klub tidak harus menjalani pertandingan tandang ke luar daerah yang letaknya terlampau jauh, contohnya Persiraja Banda Aceh (ujung barat) dan Persipura Jayapura (ujung timur).
Selain itu, gelar juara yang ditentukan melalui partai final akan memiliki nilai jual tinggi. Tidak seperti satu wilayah, di mana pemenang liga kemungkinan sudah bisa dipastikan sebelum kompetisi berakhir.
Kebugaran pemain juga lebih baik karena jumlah peserta di masing-masing wilayah tidak sebanyak format sebelah. Mengacu kepada musim terakhir memakai format zonasi, yakni ISL 2014, setiap wilayah (Barat dan Timur) berisikan 11 klub.
Namun, format zonasi tetap ada minusnya, terutama dari segi pemasukan tiket karena jumlah laga kandang klub peserta otomatis berkurang lumayan drastis, dari biasanya minimal 17 pertandingan menjadi 10 atau bahkan bisa lebih sedikit lagi.
Minus format zonasi toh bisa diabaikan sementara bila mengacu kepada kondisi terkini ketika Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona. Menggelar setiap laga tanpa penonton menjadi sebuah keniscayaan sebagai syarat turunnya izin Liga 1 dari kepolisian.
"Pihak kepolisian khawatir ada cluster baru dalam pertandingan, tapi Insha Allah kami merencanakan segala hal yang berkaitan dengan SOP baru dan protokol kesehatan," ucap Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, beberapa waktu lalu.
Salah satu item dalam protokol kesehatan 3M yang dikampanyekan pemerintah yaitu menjaga jarak. Penerapan format zonasi secara tidak langsung mengakomodasi sekaligus mendukung gerakan ini.
Artinya, penggunaan kembali model dua wilayah adalah opsi yang memungkinkan untuk dilakukan dalam kondisi pandemi seperti sekarang, bahkan bisa menjadi solusi. Klub-klub terpusat di kawasan mereka masing-masing sehingga angka penularan virus corona bisa ditekan.
Klub peserta yang rata-rata mengalami kesulitan finansial selama Liga 1 vakum pun diringankan dari segi pengeluaran. Biaya tandang bisa ditekan sedemikian rupa karena tak terlalu sering melakukan perjalanan lintas pulau lewat jalur udara.
Semuanya kembali lagi ke tangan PSSI. Apakah mereka akan mempertimbangkan opsi penerapan format zonasi untuk Liga 1 2021? Atau tetap satu wilayah dengan kemasan sentralisasi di Pulau Jawa? Kita lihat saja nanti.