Sepenggal Kisah Buyung Ismu, Pippo Inzaghi Cita Rasa Indonesia Era 1990-an
INDOSPORT.COM - Peri Sandria, Dejan Glusevic, Oscar Aravena, dan Cristian Gonzales adalah deretan penyerang legendaris yang mampu mencetak 30 gol atau lebih di Liga Indonesia (sekarang Liga 1). Belakangan, Sylvano Comvalius menyusul para pendahulunya.Â
Terdapat persamaan besar dari kelima pemain tersebut. Apa lagi kalau bukan predikat top scorer, tapi tahukah Anda bahwa masih ada satu nama lagi yang koleksi gol semusimnya menembus angka 30?Â
Dialah Buyung Ismu. Sosok legenda Pelita Jaya dan Semen Padang ini agak menghilang dari peredaran karena menjadi satu-satunya pencetak 30 gol yang gagal meraih Sepatu Emas Liga Indonesia.Â
Torehan Buyung memang kalah banyak dari Peri Sandria yang mengukir 34 gol di LI 1994-1995. Hal ini kerap membuat sosoknya seolah terlupakan serta jarang dibicarakan oleh penikmat sepak bola Indonesia.
Padahal, Buyung termasuk salah satu mesin gol top yang disegani kawan maupun lawan di zamannya. Dia bersinar bareng Pelita Jaya (1994-1996), terlebih saat berandil mempersembahkan titel juara Galatama 1994 berkat gol kemenangan ke gawang Gelora Dewata di final.
Setelah meraih juara di tahun pertama, Buyung melesat sebagai penyerang papan atas Indonesia bersama Peri Sandria, Sutiono Lamso, dan Widodo C. Putro pada tahun kedua sekaligus menjadi edisi perdana Liga Indonesia pasca-unifikasi Perserikatan dengan Galatama.
Buyung bahkan merupakan pesepak bola pertama yang mampu mendulang 30 gol di era LI sebelum disalip Peri. Dia menyamai catatan terdahulu milik striker legendaris NIAC Mitra, Syamsul Arifin di Galatama 1982.
âMasa keemasan saya itu bisa dibilang ketika memperkuat Pelita Jaya. Keberadaan pemain-pemain berkualitas plus manajemen yang baik membuat saya bersinar di sana,â kata Buyung Ismu seperti dilansir Tabloid BOLA edisi 2.833 (5 Januari 2018).
1. Dimentori Roger Milla dan Mario Kempes
Buyung Ismu mengawali karier dari Diklat Palembang lalu berlanjut ke Diklat Ragunan. Dari sana bakatnya terendus Barito Putera yang tengah mempersiapkan tim menyambut Galatama 1992.
“Sebenarnya bukan cuma Barito. Ada juga Arseto, BPD Jateng, dan Krama Yudha, tapi di sana sudah bercokol sejumlah nama besar seperti Ricky Yacob (Arseto), Widiyantoro (BPD), dan Peri Sandria (Krama Yudha). Saya takut jadi camat alias cadangan mati,” ujar Buyung.
Pilihan Buyung tak salah. Bersama rekan seangkatan di Diklat Ragunan, Joko Hariyanto, dia berhasil menembus skuat utama Barito Putera meski usianya tergolong belia, 19 tahun.
Penampilan meyakinkan di Barito mengundang ketertarikan Pelita Jaya yang kala itu termasuk tim raksasa. Dia pun bergabung ke klub asal Jakarta tersebut dengan harapan mengembangkan karier.
Di sinilah Buyung berkempatan menimba ilmu dari pemain asing. Dia beruntung karena pernah setim dengan Dejan Glusevic, Roger Milla, dan Mario Kempes, yang lantas mengajarkannya kiat-kiat menjadi striker jempolan.
“Dari mereka saya belajar bahwa seorang striker itu tidak boleh meninggalkan kotak penalti kalau mau mencetak banyak gol. Sebuah pelajaran yang amat berharga,” ucap Buyung Ismu.
Pelajaran itu menjadikan Buyung semakin tajam hingga mampu menggelontorkan gol demi gol. Dia bertipe penyerang oportunis yang mahir memanfaatkan setiap anggota tubuhnya untuk bisa membobol gawang lawan.
“Tugas penyerang itu cuma satu, yakni mencetak gol. Tak peduli mau menggunakan kaki, kepala, atau bagian tubuh lain. Mungkin seperti Filippo Inzaghi. Dulu saya memang sempat dijuluki Inzaghi-nya Indonesia,” pungkas Buyung Ismu.