Napoli Singkirkan Inter Milan, Bukti Jika Conte Tak Ahli di Turnamen
INDOSPORT.COM – Keberhasilan Napoli menyingkirkan Inter Milan di semifinal Coppa Italia, tampaknya menjadi bukti kalau Antonio Conte memang tak ahli di kompetisi berformat turnamen.
Meski berada di tiga besar Serie A Italia dan disebut sebagai pesaing terkuat Juventus menuju tangga juara, rupanya secara mengejutkan Inter Milan tak kuasa menahan laju Napoli. Padahal seperti yang kita tahu, Napoli musim ini baru saja mengalami gonjang-ganjing setelah terjadi pergantian pelatih.
Akan tetapi Inter Milan yang sangat diunggulkan untuk bertemu Juventus di final Coppa Italia, rupanya tak bisa melewati hadangan Napoli. Hal itu dipastikan setelah dini hari tadi, Inter Milan ditahan 1-1 oleh Napoli di San Paolo.
Gol dari Christian Eriksen sanggup dibalas oleh Dries Mertens menjelang babak pertama berakhir. Meski tidak kalah, tetapi Inter Milan harus tersingkir, pasalnya di leg pertama, Napoli sukses menang 1-0 dalam laga yang dilangsungkan di San Siro.
Pertanyaan pun mengemuka, bagaimana bisa Inter Milan yang sedang dalam peforma terbaiknya bersama Antonio Conte harus bertekuk lutut dengan Napoli dan Gennaro Gattuso? Mungkin jika kita mengenal Conte secara lebih dalam, jawabannya dapat kita temukan berikut ini.
1. Lebih Sukses di Kompetisi Berformat Non Turnamen
Tak ada yang bisa memungkiri jika Antonio Conte adalah salah satu pelatih bertangan dingin asal Italia saat ini. Kemampuannya dalam memotivasi tim hingga inovasi taktik yang teraplikasikan dalam formasi 3 bek menjadi bukti sahih kalau Conte memang bukanlah pelatih sembarangan.
Conte sudah terbukti dengan mengantarkan Juventus kembali jadi raja di Italia, Timnas Italia bisa tampil memukau meski sumber daya terbatas, hingga Chelsea yang juara Liga Inggris meski saingannya sangat ketat saat itu. Akan tetapi jika kita mengenal Conte lebih dalam, sebenarnya ada satu kelemahannya.
Yaitu, entah mengapa Conte lebih sukses dalam kompetisi berformat marathon alias liga dibanding dengan level turnamen. Hal itu bisa dibuktikan dengan melihat banyaknya gelar berasal dari kompetisi berformat liga bukan turnamen seperti piala domestik dan coppa.
Juventus
Conte boleh disebut sebagai salah satu arsitek yang membangunkan Juventus dari tidur panjangnya setelah terkenal skandal calciopoli 2006. Tak tanggung-tanggung dalam 3 tahun melatih, Juventus dibawa juara Serie A 3 kali berturut-turut.
Namun, meski Juventus sangat digdaya saat itu, Conte selalu gagal total ketika harus membawa tim bermain di Liga Champions. Bahkan di Coppa Italia saja, Juventus tidak pernah juara sama sekali bersama Conte.
Timnas Italia
Bersama Timnas Italia, Conte pun kembali membuktikan diri sanggup membangun tim dengan sumber daya yang ada. Bayangkan saja dengan materi striker dari klub papan tengah Southampton seperti Graziano Pelle, Conte sanggup menyulap Italia bermain atraktif.
Belgia yang sedang dalam generasi emasnya saja tak berkutik di hadapan Italia asuhan Conte di laga awal Euro 2016. Bahkan Spanyol yang merupakan juara bertahan Euro saja juga sanggup disikat oleh Conte pada babak 16 besar.
Namun kutukan kalau Conte tak pernah berjodoh dengan kompetisi berformat turnamen kembali berbicara. Italia secara menyakitkan tersingkir di babak 8 besar oleh Jerman setelah bertanding dalam drama adu penalti.
Chelsea
Gagal membawa Italia lebih jauh di Euro 2016, Conte langsung dikontrak oleh Chelsea yang saat itu tengah dikepung dalam persaingan ketat di Liga Inggris. Bayangkan saja, klub pesaing Chelsea saat itu di musim 2016/17 sedang ditangani oleh pelatih dengan nama besar semua.
Sebut saja Pep Guardiola di Manchester City, Jose Mourinho di Manchester United, Jurgen Klopp di Liverpool, Arsene Wenger di Arsenal, Mauricio Pochettino di Tottenham Hotspur, hingga Claudio Ranieri yang baru saja mengantarkan Leicester City juara Liga Inggris.
Akan tetapi dengan sentuhan emasnya, Conte berhasil membawa Chelsea mengalahkan semua tim itu dan menjadi juara Liga Inggris. Namun kembali, Conte gagal memenangkan kompetisi berformat turnamen seperti Piala FA setelah kalah mengejutkan dari Arsenal di final.
Memang akhirnya, di musim selanjutnya, Chelsea berhasil menjadi juara Piala FA, tetapi di Liga Champions, Conte kembali gagal. Tentu ada banyak faktor yang membuat Conte seperti kehilangan tajinya jika membawa timnya dalam kompetisi berformat turnamen.
Boleh jadi salah satunya, Conte adalah ahlinya dalam hal membangun konsistensi bermain sehingga membuat semua timnya selalu memenangkan liga, kecuali Inter Milan yang belum.
Sedangkan di kompetisi berformat turnamen yang membutuhkan adaptasi taktik terhadap lawan, sepertinya Conte kurang lihai dalam hal ini.
Tampaknya kemampuan Conte dalam melakukan berbagai persiapan membuatnya lemah jika harus berimprovisasi dalam pertandingan sehingga Inter Milan tersingkir dari Coppa Italia.