Mengenang Liga Indonesia 1997/98, Kompetisi yang Dihentikan karena Krisis Moneter dan Kerusuhan Skala Nasional
INDOSPORT.COM – Seperti Liga 1 2020 kali ini, kompetisi Liga Indonesia 1997/98 juga sempat dihentikan akibat sebuah peristiwa berskala nasional, krisis moneter.
Baru bergulir selama tiga pekan, kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Indonesia, Liga 1 2020 harus dihentikan oleh peristiwa skala nasional, bahkan juga internasional, merebaknya virus corona.
Apa yang terjadi tersebut sebenarnya bukan hal baru, sebab lebih dari dua puluh tahun yang lalu kompetisi kasta tertinggi Liga Indonesia juga sudah mengalami hal yang sama.
Kejadian itu bermula ketika krisis moneter mulai terjadi di seantero dunia, hingga puncaknya juga mencekik Indonesia pada tahun 1998.
Kala itu kompetisi Liga Indonesia, dengan label Liga Kansas 1997/98 sudah bergulir. Bahkan penyelenggaraannya sudah memasuki pekan ke-17.
Sebelum akhirnya dihentikan tepat tanggal 25 Mei 1998 akibat kondisi nasional yang semakin tidak kondusif. Sebab bukan hanya jeratan krisis moneter. Pergolakan politik dan kerusuhaan berskala nasional saat itu juga telah mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat secara umum.
Secara total, Liga Indonesia 1997/98 itu telah memainkan 234 pertandingan, dari yang sedianya ada 317 total pertandingan sepanjang musim kompetisi yang diikuti 31 klub itu.
Tak seperti kompetisi saat ini yang menggunakan format satu wilayah, kompetisi Liga Indonesia 1997/98 kala itu menggunakan format tiga wilayah dalam babak reguler. Di mana terbagi dalam wilayah barat, tengah dan timur.
Dari tiga wilayah tersebut masing-masing ada tiga klub yang sebenarnya sedang nyaman berada di puncak klasemen sebelum akhirnya kompetisi dihentikan.
Di Wilayah barat ada Persebaya Surabaya yang sedang memimpin dengan 28 poin. Mengungguli Persija Jakarta yang memiliki 27 poin dan jumlah pertandingan satu lebih banyak, ada di peringkat dua.
Di wilayah tengah ada PSMS Medan yang saat itu telah memainkan 16 pertandingan. Unggul di peringkat pertama dengan 31 poin dari Pelita Jakarta, yang baru main 14 kali dengan poin 27.
Sementara di wilayah timur ada PSM Makassar yang nyaman dengan poin 30 hasil 15 laga. Dan jauh mengungguli Persma Manado yang hanya mengoleksi 24 poin dalam jumlah laga yang sama.
Terhentinya kompetisi Liga Indonesia 1997/98 sendiri sebenarnya bukan terjadi begitu saja imbas dari krisis moneter. Sebab tanda-tanda juga telah terlihat sejak awal digulirkannya kompetisi.
Tanda pertama bisa dilihat dengan mundurnya finalis musim sebelumnya, Bandung Raya, yang terpaksa tak bisa mengikuti kompetisi akibat kebangkrutan imbas krisis moneter yang mulai bersama saat itu.
Setelahnya saat memasuki pekan ke-14, salah satu klub di wilayah tengah Arseto Solo, harus dibubarkan. Setelah menjadi sasaran amukan masa lantaran pemilik klub adalah Sigit Harjoyudanto, merupakan bagian dari keluarga Cendana.
Keluarga Presiden Soeharto saat itu, yang menjadi sasaran demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan aktivis lainnya.
Sempat terus berlangsung pasca bubarnya Arseto Solo, kompetisi Liga Indonesia 1997/98 itu akhirnya memang harus di hentikan di tengah jalan.
Berhentinya liga di tengah jalan tak ayal membuat suporter kecewa. Kericuhan yang disebabkan suporter meletus di sejumlah tempat. Seperti di Bandung, saat Bobotoh dan sejumlah elemen masyarakat mengadakan demonstrasi di depan Gedung Sate.
Tak hanya suporter dan klub, pada pemain pun jadi yang paling terimbas, Mereka harus mencari penghidupan dengan cara lain seperti bermain antarkampung (tarkam).
Beruntung, itu tidak berlangsung lama. Pada November 1998, roda kompetisi kembali digulirkan. Di bawah pimpinan Agum Gumelar, Liga Indonesia edisi 1998/99 pun berjalan dengan bantuan subsidi yang besar dari PSSI, meski tanpa sponsor utama seperti musim-musim sebelumnya.