Bak 'Lingkaran Setan', Sulitnya AC Milan Lolos dari Jerat Financial Fair Play
INDOSPORT.COM - Raksasa Serie A Italia, AC Milan, terus menerus disibukkan dengan masalah Financial Fair Play. Setelah sanksi UEFA ditangguhkan, pada bulan April lalu pihak terkait kembali menemukan bukti pelanggaran baru yang dilakukan Milan.
CEO AC Milan, Ivan Gazidis, pun terus bekerja keras untuk meyakinan UEFA sekaligus memastikan Milan sanggup menutup kerugian yang ada hingga batas akhir musim 2020/21.
Jika hal tersebut gagal dilakukan, sanki larangan tampil di kompetisi Eropa bakal diberlakukan kepada Milan pada musim 2022/2023 dan 2023/2024.
Milanisti pun bertanya-tanya, mengapa Milan terus-menerus berurusan dengan UEFA terkait masalah Financial Fair Play. Apa sebenarnya yang menyebabkan I Rossoneri begitu dipusingkan pada masalah ini?
Untuk itulah, kami coba membahas secara mendalam duduk persoalan yang membuat AC Milan bagaikan di tengah-tengah 'lingkaran setan' jerat Financial Fair Play.
Apa itu Financial Fair Play?
Sebelum jauh melangkah, kita pahami dahulu secara seksama mengenai aturan Financial Fair Play (FFP). Aturan FFP pertama kali dikeluarkan tahun 2011 oleh UEFA yang saat itu diketuai Michel Platini.
Tujuannya baik, yakni menyehatkan keuangan klub-klub sepak bola Eropa serta menghindari ketimpangan antarkesebelasan.
Dengan aturan FFP, maka klub Eropa wajib menyehatkan keuangan klub. Artinya, klub mesti cermat dalam mengeluarkan uang (semisal untuk belanja pemain) agar tidak merugi atau bangkrut.
Aturan FFP menghindari klub mengalami kerugian besar dan terlilit utang. Pasalnya, era industri sepak bola saat ini makin 'gila-gilaan'. Sebuah klub bisa membelanjakan uang ratusan juta euro dan berpotensi mengalami kerugian.
Selain soal rugi-merugi, aturan FFP juga diberlakukan untuk menghindari ketimpangan antarklub.
Bayangkan saja jika klub seperti Man City atau PSG yang memiliki uang banyak tidak dibatasi pengeluarannya. Bisa-bisa semua pemain terbaik dunia dibeli oleh mereka.
Aturan FFP diawasi oleh Badan Pengawas Keuangan Klub UEFA (CFCB). CFCB mengawasi keuangan klub-klub Eropa. Tiap bulan Desember, CFCB memberikan laporan kepada klub apakah klub tersebut telah aman dari FFP atau tidak.
Jika kedapatan merugi, klub diberi kesempatan enam bulan untuk menyeimbangkan neraca keuangannya. Maka dari itu, pada musim panas (sekitar enam bulan setelah Desember) lazim dijumpai tim-tim yang menjual bintangnya dengan harga mahal demi menutup kerugian.
Dengan adanya FFP, sebenarnya bukan berarti klub tak boleh merugi sama sekali. Hanya saja, ada jumlah kerugian yang dibatasi.
Dalam tiga musim terakhir yang lalu (2015/16, 2016/17, 2017/18) UEFA memperbolehkan klub menderita kerugian maksimal sampai 30 juta euro.
Pengeluaran yang dihitung dalam keseimbangan neraca keuangan FFP sendiri meliputi pembelian pemain, penggajian elemen klub (pemain, pelatih, staf, dsb), dan sejumlah hal lain.
Ada pengeluaran yang tak dihitung dalam neraca keuangan FFP, yakni pembangunan/investasi stadion, infrastruktur latihan, dan pengembangan usia muda.
Jadi, untuk memperbaiki neraca keuangan, tak hanya menjual pemain saja, tetapi bisa dengan mengurangi gaji. Akan tetapi, memang keuntungan dari penjualan pemain adalah yang paling besar.
Selain menjual pemain, tentu saja klub bisa mendapatkan keuntungan dari tiket pertandingan, merchandise klub, hak siar, dan hadiah kompetisi.
Awal Mula 'Kejatuhan' Milan
Semakin besar klub meraih prestasi maka semakin besar pemasukan yang didapat. Klub yang main dan apalagi menjuarai Liga Champions jelas bakal mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Tiap musimnya, Liga Champions selalu memberikan keuntungan bagi klub-klub peserta. Untuk musim lalu saja misalnya, bagi tim yang lolos ke fase grup sudah dimodali 15,25 juta euro.
Jika ditotal, klub yang bisa mencapai babak final sanggup mengantongi hampir 50 juta euro.
Hal inilah yang Milan tidak miliki dalam sekitar lima musim terakhir. Jumlah penonton Milan di San Siro menurun karena I Rossoneri tak mampu bersaing di perburuan juara Serie A dan absen di Liga Champions.
Milan tak mendapat uang keuntungan main di Liga Champions dan kekurangan pemasukan dari tiket, sponsor, dsb. Milan seakan menjadi tim medioker dan merugi.
Awal mula penyebabnya adalah kesulitan keuangan yang dialami oleh Silvio Berlusconi. Berlusconi terpaksa harus menjual bintang-bintangnya seperti Ibrahimovic dan Thiago Silva karena perusahaan miliknya, Fininvest, merugi.
Milan mendapatkan uang 60 juta euro dari penjualan dua bintang tersebut. Sebagai gantinya, Milan cuma bisa mendatangkan bintang-bintang 'kelas dua' ke San Siro. Di sinilah rentetan musim kelabu Milan dimulai, tepatnya dari musim 2013/2014.
Atas desakan suporter dan kondisi industri sepak bola Eropa yang makin gila-gilaan dalam pembelanjaan pemain, Berlusconi pun menjual Milan sebesar 740 juta euro (Rp11,9 triliun) ke taipan asal China, Yonghong Li, pada April 2017.
Yonghong Li disambut bak penyelamat karena menjanjikan uang yang sangat banyak untuk membelanjakan pemain. Tak tanggung-tanggung, sekitar 200 juta euro siap dibelanjakan Milan untuk menyongsong musim 2017/18.
Namun, alih-alih sebagai juruselamat, justru Yonghong Li-lah yang menyebabkan kehancuran pada klub AC Milan.
1. Seberapa Akut Jerat Financial Fair Play Menjangkiti Milan?
Di musim perdananya bersama Rossoneri, Yonghong Li menggelontorkan lebih dari 200 juta euro untuk 11 pemain baru. Namun, usaha ini ternyata tetap tak bisa mengantarkan prestasi pada Milan. Milan masih gagal juara dan bahkan tak bisa lolos ke Liga Champions.
Parahnya lagi, Yonghong Li, yang diketahui membeli Milan dari hasil pinjaman ke Elliott Management, gagal mengembalikan utang saat jatuh tempo. Tak tanggung-tanggung, utang Yonghong Li terhadap Elliott mencapai 380 juta euro (Rp6,1 triliun).
Rencana Milan di bawah Yonghong Li pun gagal. Alhasil, kepemilikan Milan diambil alih oleh Elliott Management. Elliot sendiri hingga saat ini menjadi pemilik saham terbesar AC Milan.
Elliott memberi jaminan keuangan agar Milan terhindar dari kebangkrutan dan berniat melakukan investasi besar di klub peraih tujuh gelar Liga Champions tersebut.
Namun, usaha itu terlanjur terhambat oleh 'dosa' yang dilakukan Yonghong Li dan masa akhir kepemimpinan Berlusconi. UEFA, melalu CFCB, mendapati Milan mengalami kerugian yang besar.
Rossoneri gagal untuk memenuhi persyaratan neraca keuangan klub selama periode pengamatan 2018/19, yang meliputi akhir tahun 2016, 2017 hingga 2018.
Dilansir dari Calcio Finanza, pada musim 2016/17 Milan mengalami kerugian sampai 70 juta euro. Jelas itu melanggar batas FFP.
Saat itu Milan sempat berhasil membujuk UEFA seiring kedatangan Yonghong Li yang siap menjabarkan rencana bisnis baru.
Namun, janji itu tak ditepati. Selepas akhir musim 2017/18, Milan mengumumkan kerugian operasional (sebelum pajak) sebesar 126 juta euro.
Kondisi ini jelas semakin menambah akut kerugian Milan. Kompetisi Europa League tak cukup memberikan keuntungan bagi Milan.
Milan disanksi tak boleh main di Eropa selama dua musim dan dibatasi belanja pemain pada bursa transfer.
Selepas kepergian Yonghong Li, Milan dengan manajemen yang baru langsung 'membujuk' UEFA untuk menangguhkan segala sanksi yang ada.
Elliott Management, diwakili CEO Milan, Ivan Gazidis, mengajukan banding ke CAS. Usaha ini cukup berhasil dengan Milan yang bisa main di Liga Europa musim 2018/19.
UEFA memberikan tenggat waktu hingga akhir musim 2020/21 untuk Milan menyeimbangkan neraca keuangan mereka. Jika masih gagal, maka Milan dipastikan tak bisa main di kompetisi Eropa pada musim 2022/2023 dan 2023/2024.
Bagaimana Cara Milan Lepas dari Jerat FFP
Bak 'lingkaran setan', usaha Milan keluar dari jerat Financial Fair Play sangatlah sulit. Di sisi lain, Milan ingin bangkit dan main di level teratas untuk meraih keuntungan besar.
Namun, di waktu bersamaan, Milan tidak diperbolehkan belanja pemain dalam nilai besar agar tak memperparah kerugian yang ada.
Jadi, sederhananya, Milan harus bisa mendapat keuntungan dari bermain dan berprestasi di Liga Champions, bersaing di papan atas Serie A, mendapat banyak uang tiket penonton, tetapi hanya dengan bermodalkan pemain-pemain dengan harga miring.
Jelas saja ini hanya sesuatu yang terjadi di Negeri Dongeng. Milan wajib mendatangkan pemain top untuk mendatangkan prestasi dan keuntungan.
Cara awal yang bisa dilakukan adalah dengan cuci gudang pemain-pemain yang tak berkontribusi. Buang semua pemain-pemain yang hanya membebani gaji.
Kemudian, Milan bisa merekrut bintang dunia dengan harga yang tak terlalu mahal atau bahkan bebas transfer. Di sini peran pelatih sangat penting karena harus menentukan pemain yang seefektif mungkin berguna untuk Milan.
Sayangnya, musim depan Milan tak bermain di Liga Champions. Inilah mengapa kegagalan I Rossoneri musim ini ke zona Liga Champions bagaikan sebuah bencana. Milan kehilangan keuntungan potensial sebesar 50 juta euro dari absen di Liga Champions.
Akan sulit pula bagi Milan menarik pemain bintang jika tak main di Liga Champions, apalagi dengan biaya transfer miring.
Cara paling buruk adalah dengan menjual pemain termahal mereka. Misalnya, Gianluigi Donnarumma atau Alessio Romagnoli.
Kedua pemain ini masing-masing diyakini berharga minimal 60 juta euro. Ini bisa mengurangi kerugian Milan sekaligus memberikan ruang untuk belanja 2-3 pemain baru.
Pemain bintang yang datang harus dipastikan mampu memberikan prestasi dan meningkatkan uang pendapatan merchandise seperti jersey, dsb.
Untuk suporter, Milan sepertinya bisa mulai berharap lebih. Mengapa? Pada musim 2018/19 lalu Milan mendapatkan rataan jumlah penonton terbesar semenjak lima musim terakhir.
Andai saja Milan tak mengalami kerugian besar pada akhir musim 2017/2018, niscaya Elliott Management diperbolehkan menggelontorkan dana besar untuk kebangkitan Milan awal musim depan. Namun, nasi sudah menjadi bubur.
Sebetulnya Milan memiliki jalan pintas dalam penyelesaian masalah ini. Untuk menyeimbangkan neraca keuangan, manajemen cukup menjual hampir semua pemain bintang lalu menjalani beberapa musim sebagai tim medioker sampai neraca keuangan kembali seimbang.
Ketika waktunya tiba nanti, mereka baru bisa kembali belanja besar-besaran dan mencapai target yang lebih terencana. Namun, apakah Milanisti mau menunggu lebih lama lagi?