Sepak Bola di Kota Madura, dari Simbah 'Los Galacticos' hingga Klub Antah Berantah
INDOSPORT.COM – Pulau Madura tidak hanya terkenal dengan produksi garamnya atau tradisi Karapan Sapi. Madura kini memiliki klub sepak bola Madura United untuk dibanggakan.
Dalam tiga tahun terakhir, Madura United hadir merusak dominasi klub klasik Jawa Timur di kancah sepak bola Indonesia, seperti Persebaya Surabaya, Arema FC, dan Persela Lamongan.
Klub berjuluk Laskar Sape Kerrab ini terakhir sukses melaju ke babak semifinal turnamen pramusim Piala Presiden 2019. Madura United harus melangkahi saudara tua Persebaya Surabaya untuk bisa menggenggam tiket ke final.
Madura United mengawali langkah di musim 2019 dengan evaluasi luar biasa. Usai finis di urutan ke-8 kompetisi Liga 1 2018, mereka langsung ‘mengamuk’ dengan belanja mewah di bursa transfer.
Andik Vermansah berhasil dipisahkan dari Persebaya Surabaya sejauh selat Madura dan Jembatan Suramadu. Fandry Imbiri juga didatangkan sebagai salah satu upaya menggembosi kekuatan Bajul Ijo sebagai rival terkuat mereka.
Sederet nama bintang Timnas Indonesia didatangkan oleh Madura United, seperti Zulfiandi, Muhammad Ridho, dan Beto Goncalves, dan Syahrian Abimanyu.
Selain itu, pemain asing jempolan turut dihadirkan ke Madura United, yakni top skor Liga 1 2018, Aleksandar Rakic, dan bek Persija Jakarta, Jaimerson da Silva Xavier.
Dengan masuknya Dejan Antonic sebagai salah satu pelatih asing berlisensi UEFA Pro di Indonesia, transfer pemain tersebut kian mengukuhkan Madura United sebagai Los Galacticos-nya Liga 1.
Madura United memang hadir menghiasi konstelasi sepak bola Indonesia dengan sedikit sulap bernama akuisisi. Namun demikian, kehadiran mereka mampu menyatukan basis pendukung sepak bola Madura yang terpecah-pecah.
1. Perjalanan menjadi Nama Madura United Hingga Munculnya Mbah Hosen
Dahulu kala, Madura punya empat klub yang menyebar di penjuru pulau: Perseba (sekarang Borneo FC) di Kabupaten Bangkalan yang berkandang di Stadion Gelora Bangkalan, Perssu Sumenep di Kabupaten Sumenep yang bermarkas di Stadion Ahmad Yani, dan Persepam di Kabupaten Pamekasan yang dimukim di Stadion Ratu Pamelingan, dan Persesa di Kabupaten Sampang.
Kiprah Persepam Madura di Liga Super Indonesia sempat membangkitkan gairah suporter Madura. Akan tetapi, kiprah Persepam yang anjlok dan diperparah dengan pembekuan PSSI tahun 2015 kian meredupkan sepak bola Madura.
Achsanul Qosasi lantas menghidupkan kembali sepak bola Madura pada tahun 2016. Lewat akuisisi klub Persipasi Bandung Raya (PBR), kemudian lahirlah Madura United.
Dukungan suporter K-Cong Mania (Perseba), Trunojoyo Mania (Persesa), Tretan Mania (Persepam Madura), dan Peccot Mania (Perssu) yang sempat terpecah akhirnya kembali bersatu untuk mendukung Madura United.
Geliat Madura United bermula di Piala Gubernur Kaltim 2016. Sukses melaju ke final sebelum dihempaskan Pusamania Borneo FC, kesuksesan Laskar Sape Kerrab berlanjut di Indonesia Soccer Championship (ISC) A 2016.
Madura United sukses meraih juara paruh musim ISC A. Meski gagal meraih gelar kampiun, kiprah mereka di kasta tertinggi mulai diperhitungkan sebagai salah satu calon juara setiap musim sebelum kompetisi belum bergulir.
Seiring lahirnya Madura United, hadir pula Mbah Hosen yang selalu hadir di pinggir lapangan. Mbah Hosen yang telah berusia 80 tahun menjadi ikon sepak bola Madura.
Kakek yang juga ahli dalam bela diri pencak silat ini selalu hadir memimpin pasukan suporter Madura United tanpa rasa pamrih menanti permainan terbaik tim kebanggaannya, baik di laga kandang maupun tandang.
Mbah Hosen bisa dibilang merupakan suporter aktif tertua di Madura bahkan Indonesia. Di usia senjanya, ia menolak diam berpangku tangan untuk mendukung tim kebanggaan masyarakat Madura.
Kakek yang selalu terlihat energik dengan pakaian putih merah khas Madura ini merupakan representasi semangat Madura United, bahwa usia hanya soal angka, tetapi perjuangan haruslah bertahan sepanjang masa.
2. Pulau Madura, dengan Berbagai Klub Sepak Bola di Dalamnya
Di era Liga 1, Madura United tidak pernah keluar dari zona papan atas. Pada musim 2017, mereka finis di urutan ke-5, sementara musim 2018 lalu Madura United menyudahi kompetisi di urutan ke-8.
Dengan finansial yang kuat, bintang sekaliber Peter Odemwingie mampu didatangkan ke Bumi Karapan Sapi dengan status marquee player. Mantan pemain West Bromwich Albion itu mampu menyumbang 15 gol di musim perdananya di Liga 1 2017.
Kehebatan Madura United bukan soal mendatangkan Odemwingie. Kehebatan Madura United yang sesungguhnya ialah soal loyalitas pemainnya untuk tetap setia bertahan sejak awal.
Tak heran, nama-nama seperti Greg Nwokolo, Fachrudin Aryanto, Slamet Nurcahyo, dan Engelbert Sani tidak pernah pergi meninggalkan masyarakat Madura.
Perlahan, Madura United mulai menyusun The Dream Team yang sempat mereka impikan di musim 2018. Gagal memadukan OK Johm, Raphael Maitimo, dan Cristian Gonzales, Madura United kini hadir dengan skuat 'Los Galacticos' di musim 2019.
Madura United berusaha membangun sejarah di kancah sepak bola Indonesia layaknya Manchester City. Perlahan tapi pasti. Tiga tahun tentu bukanlah waktu yang sebentar untuk bisa diterima sepenuhnya.
Terlebih, keberadaan klub sepak bola profesional di Madura tidak lepas dari komentar miring soal tim instan. Madura United dan Madura FC memang muncul bukan karena merangkak dari kasta terbawah.
Madura United merupakan hasil kloning dengan mengakusisi lisensi klub PBR, sementara Madura FC dulunya berasal dari Persebo Bondowoso.
Meski begitu, kehadiran Madura United benar-benar telah meng-united-kan Madura. Mereka juga telah mengubah peta persaingan liga yang awalnya hanya milik Persipura, Persib, dan Persija.
Harapannya Madura United tidak kembali mengecewakan masyarakat Madura yang pernah terluka. Selain itu, semoga kelak Madura United mampu menelurkan bakat-bakat lokal yang bisa membela panji Merah Putih ketimbang memboyong pemain Timnas sebagai tulang punggung klub.
Ikuti Terus Berita Sepak Bola Indonesia dan Olahraga Lainnya di INDOSPORT.COM