Acak-acak PSSI, Mata Najwa Ada di Pihak Mana?
INDOSPORT.COM - Dunia sepak bola nasional tengah geger dengan serentetan peristiwa tak biasa yang tersingkap dalam beberapa pekan terakhir.
Skandal pengaturan skor besar-besaran terbongkar dengan ditangkapnya sejumlah orang.
Parahnya, sebagian dari mereka adalah para petinggi federasi sepak bola Tanah Air, PSSI. Di antaranya Asprov Jateng, Djohar Lin Eng, dan juga seorang anggota Komisi Disiplin PSSI, Dwi Irianto.
Kisruh match fixing seakan melengkapi cerita muram PSSI di era Rahmayadi. Kurang dari sebulan sebelumnya, Timnas Indonesia telah babak belur di Piala AFF 2018.
Ketidakmampuan PSSI mempertahankan Luis Milla akhirnya jadi kambing hitam buruknya prestasi timnas di Piala AFF.
Teriakan-teriakan meminta Edy Rahmayadi mundur seakan otomatis menggaung di tengah-tengah suporter. Tagar #EdyOut semakin tak terkontrol di media sosial.
Selebaran pamflet serta petisi pun turut dikerahkan yang isinya sama, yaitu meminta Edy Rahmayadi mundur.
Sebelum Timnas Indonesia tersingkir dan petinggi-petinggi PSSI ditangkap, ada sebuah peristiwa yang seakan menjadi pelatuk segala catatan hitam ini.
Peristiwa tersebut adalah pertandingan antara Aceh United vs PS Mojokerto Putra (PSMP) di babak delapan besar Liga 2 2018, Senin (19/11/18).
Masyarakat luas terutama di dunia maya menganggap ada ketidakberesan dalam laga tersebut.
Bagaimana tidak, sebuah penalti aneh terjadi di laga ini. Pemain PSMP, Krisna Adi, yang menjadi eksekutor tampak sengaja tidak mengarahkan bola ke gawang Aceh United.
Pertandingan ini menjadi viral di media sosial. Kecurigaan terhadap adanya match fixing di sepak bola nasional yang sebelumnya masih samar-samar mulai meluap-luap ke permukaan.
Salah satu acara gelar wicara (talk show) populer Tanah Air yang kerap menghadirkan topik-topik menarik dengan narasumber kelas satu, Mata Najwa, pun tertarik untuk mengangkat tema ini.
Program Talk Show Mata Najwa memiliki kesan kuat di publik Indonesia.
Dipandu oleh sosok yang memiliki karakter cerdas, lugas dan berani serta memiliki karisma kuat di mata pemirsa, yaitu jurnalis senior Najwa Shihab, acara talk show ini kerap berani memberikan gebrakan-gebrakan dalam standar diskusi terbuka Tanah Air.
Talk show bisa dianggap sebagai perwakilan dari televisi untuk sebuah ranah publik. Sementara televisi merupakan media massa publik.
Ranah publik inilah yang digunakan untuk membicarakan isu-isu terkini oleh Mata Najwa dengan bahasan mafia sepak bola.
Dalam membahas polemik dugaan match fixing dan buruknya prestasi timnas, Mata Najwa pun membuat seri talk show bertajuk 'PSSI Bisa Apa'. Acara ini bahkan sampai 3 jilid.
Di jilid pertama, Mata Najwa mengangkat judul 'PSSI Bisa Apa', program Mata Najwa dengan buka-bukaan membongkar praktik tak terpuji sejumlah oknum nakal di persepakbolaan nasional.
Pada talk show pertama yang ditayangkan Rabu (28/11/18), salah seorang mantan pelaku pengaturan skor, Bambang Suryo, berani menyebut nama orang yang terlibat praktik ini.
Karena acara pertama inilah, nama Vigit Waluyo mendadak ramai diperbincangkan. Belakangan Vigit Waluyo ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pengaturan skor.
Selain itu, dalam acara talk show edisi pertama ini, Manajer Madura FC, Januar Herwanto, juga turut menyeret nama salah satu anggota Exco, M. Hidayat, ke dalam pusaran praktik pengaturan skor di Liga 2.
Tak lama, berdasarkan sidang Komite Disiplin PSSI pada Sabtu-Minggu, 1-2 Desember 2018 di Jakarta, Hidayat pun akhirnya dilarang beraktivitas di dunia sepak bola selama tiga tahun.
1. Pintu Masuk Polisi
Sayangnya, dalam diskusi 'PSSI Bisa Apa', para petinggi PSSI absen, termasuk mantan Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi enggan hadir. Padahal kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh Najwa Shihab, peserta diskusi, dan tentu saja masyarakat.
Justru Gusti Randa anggota Exco PSSI yang datang mewakilkan. Akan tetapi, jawaban-jawaban dari Gusti tak mampu memberikan solusi konkret dari persoalan yang ada.
Selepas edisi pertama ini, desakan Edy Rahmayadi mundur tetap ada, tapi tak sekuat yang sebelumnya.
Aneh memang, walau masih kencang disuarakan, tak bisa dipungkiri tagar #EdyOut yang sebelumnya semarak mendadak menjadi berkurang. Malah mulai muncul tagar yang mendukung Edy bertahan dengan beredarnya #EdyStay.
Menyoal hal ini, dalam akun instagram resmi pribadinya @matanajwa, Najwa Shihab, pernah mengunggah sebuah postingan berkonten sindiran terhadap rangkap jabatan yang dilakukan oleh Edy.
Maklum, selain menjadi Ketua Umum PSSI, Edy juga adalah Gubernur Sumatera Utara. Dirinya yang seharusnya berkantor di PSSI pun harus 'pindah' ke Sumatera Utara.
Rangkap jabatan inilah salah satu hal yang membuat masyarakat gemas.
Selepas 'PSSI Bisa Apa' edisi pertama, desakan Edy mundur mulai menurun. Bisa jadi ini terjadi berkat sejumlah pernyataan yang ada dalam jalannya diskusi.
"Pak Edy tidak salah, sebetulnya. Perlu saya luruskan, (rangkap jabatan) Pak Edy itu tidak melanggar Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional di Pasal 40," kata Sesmenpora, Gatot S. Broto, yang menjadi narasumber di PSSI Bisa Apa edisi pertama.
Namun, di waktu bersamaan, Edy tetaplah dinilai harus legowo memilih salah satu dari jabatan yang diembannya.
"Namun alangkah indahnya kalau Pak Edy mengurus PSSI itu ada di Jakarta. Di Sumatera Utara itu kan banyak yang diurus. Nah, PSSI seakan-akan ayam kehilangan induknya. Jadi, perlu interaksi yang baik. Terkadang malah wartawan yang dijadikan alasan kegagalan timnas,"
2. Perkasanya Najwa
Mata Najwa kembali menggelar acara talk show serupa bertajuk PSSI Bisa Apa Jilid II. Pada acara yang ditayangkan Rabu (19/12/19) ini, diskusi yang dibahas lebih besar lagi.
Dengan mengundang narasumber dari pihak klub Persibara Banjarnegara, terbongkarlah sebuah persekongkolan besar pengaturan skor di Liga 2.
Dari segala bukti yang dipaparkan di acara tersebut, tersebut nama-nama kelas kakap seperti Djohar Lin Eng (Ketua Asprov Jawa Tengah/Exco PSSI) dan Mbah Putih alias Dwi Irianto (Anggota Komisi Disiplin).
Dalam diskusi ini, Najwa turut mengundang Kapolri Tito Karnavian dan juga Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi.
Di edisi Jilid ke-2 ini tercapai sebuah konklusi besar di mana akhirnya Kapolri Tito Karnavian memutuskan membentuk Satuan Tugas Khusus untuk memberantas mafia sepak bola di Tanah Air.
Sayangnya, di acara Jilid II ini, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, lagi-lagi tak hadir memenuhi undangan. Edy mengaku tak bisa datang karena disibukkan tugas-tugas di Sumatera Utara.
Tak hanya Edy, Wakil Ketua umum Joko Driyono beserta Staf Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto, juga menolak hadir.
Dengan ini, itu artinya dua kali Edy Rahmayadi tidak hadir di acara ini.
Bahkan dalam diskusi Jilid 2 ini tak ada petinggi PSSI aktif yang hadir. Gusti Randa pun tidak.
Begitu banyak nama-nama baru yang disebut, namun Mata Najwa tak bisa meminta langsung tanggapan dari petinggi PSSI.
Apakah Acara Mata Najwa sebegitu menakutkannya bagi Edy Rahmayadi dan kolega untuk datang?
"FIFA akan menghukum kita jika Federasi menutup diri dan Negara memaksa masuk. Tapi dengan begitu kita tahu bahwa PSSI artinya tidak menganggap penting masalah pengaturan skor," ujar pengamat hukum olahraga, Eko Maung dalam tayangan tersebut.
Mata Najwa pun tak tinggal diam, mereka menampilkan video di balik layar pengejaran Edy Rahmayadi sampai ke Medan.
Diketahui Edy Rahmayadi saat itu sedang bertugas di daerah sebagai Gubernur Sumatra Utara.
"Kita akan melakukan secara manual, kita bentuk kelompok-kelompok untuk melakukan pengawasan khusus," demikan jawaban Edy usai diwawancara utusan Mata Najwa.
Dari tayangan ini lantas Kapolri Tito Karnavian dengan sigapnya menyatakan bakal membentuk Satgas Anti Mafia Bola yang belakangan mulai bekerja dan menangkap sejumlah orang yang diduga mafia.
Tayangan jilid dua ini lantas membuat banyak wartawan harus rela nongkrongin kantor Ombudsman di Kuningan Jakarta Selatan karena banyak yang diperiksa terkait kasus yang awalnya disebut-sebut seperti 'kentut', berbau tapi tak nampak.
3. Awas Terjebak
Tinggi animo masyarakat terutama di jagat internet yang membuat 'PSSI Bisa Apa selalu trending topic di YouTube lantas muncul kemudian PSSI: Bisa Apa Jilid III.
Pada tayangan Mata Najwa bertajuk PSSI Bisa Apa Jilid III, penonton disuguhkan sesuatu yang cukup berbeda di banding dua episode sebelumnya.
Pada Jilid I dan II, Mata Najwa konsisten dalam mengupas persoalan mafia bola dan tentunya membahas eksistensi PSSI (Edy Rahmayadi secara khusus) dalam merespon hal tersebut. Hal ini tentunya sangat positif.
Namun, kali ini persoalan yang dibahas adalah siapa 'dalang' dibalik mundurnya Edy Rahmayadi dari kursi pimpinan PSSI.
Pada Kongres PSSi di Bali, Minggu (20/01/19), Edy Rahmayadi secara mengejutkan menyatakan mundur dari kursi Ketua Umum PSSI.
“Demi PSSI berjalan dan maju makanya saya nyatakan hari ini saya mundur dari ketua umum PSSI,” kata Edy Rahmayadi.
Keputusan itu disambut tepuk tangan peserta Kongres Tahunan yang kurang lebih hadir sebanyak 85 voters dari 34 Asosiasi Provinsi (Asprov), 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, dan 1 Asosiasi Futsal (FFI).
Edy Rahmayadi meminta agar para pengurus lainnya tidak mengkhianati PSSI. Ia ingin mundur secara baik-baik tanpa ada keributan.
Tentu saja kabar ini bagaikan petir di siang bolong. Benar bahwa banyak yang meminta Edy mundur.
Namun, Edy selama ini dikenal sebagai orang yang paling kukuh dalam prinsipnya memegang amanat jabatan Ketua Umum PSSI hingga 2020.
Bahkan, semalam sebelum kongres, yang bersangkutan masih meyakinkan diri sebagai Ketua Umum PSSI.
"Terkejut, karena malam sebelum kongres saya hadir dan pak Edy masih bilang tidak mau mundur," Ketum Asprov Jabar, Tommy Apriyantono, yang hadir dalam acara Mata Najwa, PSSI Bisa Apa? Jilid 3.
Hal ini tentunya tak luput dari perhatian Mata Najwa. Edisi ketiga pun secara habis-habisan membahas mengenai segala peristiwa yang melatarbelakangi mundurnya Edy.
Mulai dari munculnya surat mosi tidak percaya, uang 1.000 dolar Singapura hingga pertemuan para voters di tempat terpisah demi menggulingkan rezim Edy.
Aneh memang lantaran pada dua edisi sebelumnya, Edy Rahmayadi menjadi sosok yang terpojokkan dengan segala kekurangannya.
Namun, kini narasumber yang hadir dalam diskusi di meja Mata Najwa tak ada yang mengakui telah menjadi penyokong mundurnya sang jenderal.
Sejumlah fakta berhasil dikulik oleh tim Mata Najwa yang secara tersirat menempatkan Edy Rahmayadi sebagai pihak yang terdzalimi.
Masyarakat pun tergiring dengan pertanyaan, "Siapa yang mengkhianati Edy Rahmayadi?'
Edy Rahmayadi tak lagi menjadi "Public Enemy" dalam buruknya sepak bola Indonesia. Pengurus-pengurus yang bertahan di belakang Edy Rahmayadi lah yang kini menjadi "The New Public Enemy", yaitu Joko Driyono.
Tagar #JokdriOut tak lagi bisa dihindari. Setelah Edy, muncul nama Jokdri (Joko Driyono, Wakil Ketua PSSI) dan Iwan Budianto sebagai pihak yang diminta mundur. Jangan lupakan pula para anggota Exco yang masih menjabat.
Ada sebuah peristiwa menggelitik dalam diskusi bertajuk "PSSI Bisa Apa Jilid 3: Saatnya Revolusi" ini.
Sebuah perdebatan sengit terjadi antara anggota Exco PSSI bidang hukum, Gusti Randa, dengan dua perwakilan voters, yaitu Januar Herwanto (Madura FC) dan Esti Puji Lestari (CEO Persijap Jepara).
Kedua belah pihak tak ada yang mengaku secara lisan sebagai pihak yang ada di balik mundurnya Edy Rahmayadi.
Gusti mencurigai Januar Herwanto dan Esti Puji Lestari menghadiri acara yang digelar KPSN (Komite Perubahan Sepakbola Nasional) yang dituding dapat memicu adanya dualisme kompetisi.
"Sebelum Kongres PSSI, ada KPSN (Komite Perubahan Sepakbola Nasional), itu tak ada yang hadir. Ada orang yang kumpul kumpul bicara rahasia di situ," kata Exco PSSI, Gusti Randa.
Namun, hal ini disanggah mentah-mentah oleh Esti Puji Lestari.
"Tidak ada rahasia di sini (KPSN), karena itu juga diliput televisi," ujar Esti Puji Lestari, yang dalam hasil rekomendasi KPSN mengusulkan agar anggota exco dan pengurus PSSI yang jadi tersangka match fixing diberhentikan dengan tidak hormat.
Dalam rekaman yang dimainkan secara live tersebut, terungkap adanya uang yang dibagikan dalam pertemuan sebelum kongres, yang membahas soal penandatanganan surat mosi tidak percaya untuk Edy Rahmayadi.
Semua debat hebat antara Exco PSSI dan Voters pun seakan antiklimaks dengan komentar dari pengamat sepak bola senior, Yesayas OKtavoanis.
Setelah voters menampik adanya wacana menggulingkan Edy di KSPN, Yesayas secara tegas menyebut bahwa tujuan dari dari KSPN adalah agar Edy mundur.
"Saya coba mengulas KPSN, KPSN itu saya salah satu pendiri dan ketua pertamanya," ujar Yesayas Oktavianus yang juga wartawan senior.
"Tujuan KPSN adalah mundurkan Edy," tegas Yesayas.
Ruangan pun senyap. Diskusi terasa antiklimaks. Setelah Edy Rahmayadi menjadi sosok sentral yang dituding bertanggung jawab atas prestasi timnas, tiba-tiba tak ada satu pun pihak baik PSSI maupun voters yang mau mengakui secara jantan sebagai kubu yang mengkehendaki Edy mundur.
Padahal, Mata Najwa telah mengumpulkan sekian banyak bukti.
Acara Mata Najwa pun terkesan hanya mengikuti arus publik. Berbeda dari edisi 2, pada edisi ke-3 ini, gagal terbangun sebuah solusi nyata.
Diskusi Jilid 3 hanya kembali menghadirkan pada persepsi 'musuh bersama' yang diarahkan pada petinggi-petinggi PSSI yang masih bertahan.
Najwa Shihab selaku tuan rumah acara ini mengaku sejak dulu mengulik tema sepak bola lantaran Najwa sekeluarga adalah penggila bola.
"Agak subjektif memang. Karena Najwa-nya suka bola," ucap Najwa menerangkan kenapa dirinya selalu mengangkat tema isu bal-balan.
"Negeri ini, negeri sepakbola sejak lahir. Banyak yang tidak sadar para pendiri bangsa ini orang-orang yang gila akan bola. Bung Hatta, Bung Syahrir pemain bola. Tan Malaka pemain bola profesional waktu di Belanda. Sepak bola itu sejatinya alat pemersatu," tutur Najwa.
Tentunya kita semua sepakat semangat ini agar Najwa tetap konsisten untuk pembenahan sepak bola Tanah Air, tanpa semata pertimbangan rating maupun trending.
Dalam hati kecil, sebagai sama-sama jurnalis agak iri karena Najwa mampu mengulas dengan kemasan yang apik. Rasanya sangat ingin bisa buat karya jurnalistik yang lebiih hebat lagi.
Mata Najwa mampu menjadikan hal yang selama ini tercium baunya saja jadi wujud nyata. Kentut itu akhirnya bisa kelihatan juga bentuknya.
Sebagai penutup, ada catatan untuk Najwa, yaitu harus lebih hati-hati, tak hanya tekanan dari pihak yang tak senang atas kondisi ini, namun juga jebakan dari pihak yang senang rezim ini tumbang.