Menyingkap Gemerlap Kesejahteraan Atlet Bulutangkis Indonesia
INDOSPORT.COM - Bulutangkis masih menjadi cabang olahraga yang begitu mengharumkan nama Indonesia di pentas Internasional. Sedari dulu hingga kini, para pebulutangkis Tanah Air terus silih berganti meraih kejayaan.
Mulai dari era Liem Swie King, Susi Susanti, Taufik Hidayat, hingga yang teranyar pasangan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Semuanya mampu menyabet banyak prestasi gemilang. Bahkan mereka berhasil menduduki kasta tertinggi di percaturan ranking dunia BWF.
Gemerlap prestasi yang ditawarkan cabang olahraga bulutangkis, seharusnya sudah menawarkan mutu terbaik dalam tingkat kesejahteraan bagi para atletnya. Toh, belum ada pula cabang olahraga lain di Indonesia yang sumbangsihnya sehebat bulutangkis.
Pemerintah sejatinya memang telah memberikan perhatian khusus kepada para atlet bulutangkis. Bonus berkat meraih gelar juara, tak henti-hentinya mengucur dari Kemenpora untuk para atlet bulutangkis.
Misalnya saja pada tahun 2017 lalu, Kemenpora tak segan memberikan bonus senilai Rp150 juta kepada pasangan ganda putra, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Bonus diberikan usai Kevin/Marcus menjuarai gelaran Dubai Super Series 2017.
Kisah lainnya, Liliyana Natsir yang begitu berprestasi di nomor ganda campuran bersama eks pasangannya, Tontowi Ahmad, diangkat menjadi PNS lewat jalur khusus Kemenpora. Usai pensiun dari ranah bulutangkis, Liliyana Natsir atau yang akrab disapa Butet, diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bidang tenaga fungsional kepelatihan dan atlet di kementrian negara.
Namun, Kevin/Marcus dan Liliyana Natsir hanyalah segelintir cerita indah dari tingkat kesejahteraan atlet bulutangkis Indonesia. Masih ada cerita dari pebulutangkis nasional lainnya yang patut diketahui publik pula.
Peran Pemerintah
Gloria Emanuelle Widjaja, merupakan seorang pebulutangkis wanita Indonesia yang terjun di nomor ganda campuran. Ia kini tercatat berpasangan dengan rekan senegaranya, Hafiz Faizal.
Selama berkarier, trofi juara memang belum banyak disumbangkan oleh Gloria. Terakhir kali Gloria bisa meraih gelar adalah tahun lalu, tepatnya dalam ajang Thailand Open 2019.
Namun kiprah Gloria di ranking BWF sejatinya terbilang menjanjikan. Berduet dengan Hafiz, Gloria saat ini menempati urutan sembilan ranking BWF, atau kedua terbaik di antara para ganda campuran Indonesia lainnya.
Gloria sendiri lantas mengaku belum pernah sama sekali yang namanya merasakan bonus dari pemerintah. Menurut Gloria, pemerintah melalui Kemenpora biasanya hanya akan memberikan bonus untuk pebulutangkis yang memenangkan ajang kejuaraan dunia, Asian Games, dan SEA Games.
Sementara soal prestasi, torehan gelar Gloria di ketiga ajang tadi memang masih nihil. Ia juga tak ikut serta kala tim bulutangkis putri Indonesia meraih medali perunggu dalam Asian Games 2018 lalu.
"Ya saya sih belum merasakan sepenuhnya apa yang pemerintah kasih ke saya, belum ada kesempatannya," ungkap Gloria.
"Biasanya yang dapat (bonus) kalau juara di multi event besar, kejuaraan dunia, SEA Games, dan Asian Games," tambahnya.
Walau belum pernah merasakan bonus, Gloria tetap memuji program pemerintah yang sudah mulai peka dengan tingkat kesejahteraan atlet. Gloria berpendapat bahwa pemerintah kini perlahan turut memerhatikan prestasi dari cabang-cabang olahraga yang jarang terekspos publik.
Gloria juga menyarankan supaya pemerintah bisa lebih merata dalam sistem pembagian bonusnya. Ia berharap pemerintah dapat memberikan kesejahteraan secara menyeluruh kepada semua atlet yang sudah membawa nama Indonesia di pentas internasional.
"Harapannya kalau saya, pemerintah bisa lebih peduli sama atlet-atlet yang berprestasi untuk bawa Indonesia, dan bisa dipandang sama, tidak membedakan satu sama lain," ucap Gloria.
Alvent Yulianto Chandra, salah seorang legenda bulutangkis Indonesia turut membagikan pengalamannya soal peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan atlet.
Pria 39 tahun yang pernah menduduki ranking satu dunia BWF di nomor ganda putra bersama Luluk Hadiyanto ini, menilai bahwa atlet bulutangkis Indonesia kini cukup beruntung bisa mendapat jaminan masa pensiun dengan diangkat jadi PNS.
Alvent menceritakan nasib para atlet bulutangkis di zamannya banyak yang tak mendapat kesempatan seperti itu. Ketika sudah pensiun, segala urusan mengenai pegangan hidup harus dipikirkan sendiri oleh masing-masing atlet.
"Tidak ada jaminan setelah pensiun, jaminan harus kita sendiri yang mengusahakan, tidak ada bantuan dari manapun, kita harus belajar sendiri mau jadi apa, mesti cari sendiri, dan itu tantangan banget," tutur Alvent.
"Tawaran jadi PNS dulu tidak ada, mungkin baru sekarang," imbuhnya.
Sedangkan kalau untuk urusan bonus dari pemerintah, Alvent menjelaskan praktek seperti itu sudah diterapkan sejak dulu. Sistemnya pun hampir mirip, pemberian bonus pemerintah mesti dilihat lagi dari jenis kompetisi yang dimenangkan oleh sang pebulutangkis.
Prestasi dari ajang besar, seperti kejuaraan dunia, pasti akan dihiasi kucuran bonus Menpora. Selebihnya, para pebulutangkis hanya berharap dari jerih payah sendiri.
Berkaca dari pengalamannya, Alvent pun mengingatkan pentingnya mempersiapkan hari tua kepada atlet bulutangkis. Mengolah uang dengan berkecimpung di dunia bisnis, bisa jadi salah satu cara yang ampuh untuk menjamin masa pensiun nanti.
Alvent memberikan contoh yang dikerjakan oleh keponakannya, Kevin Sanjaya Sukamuljo. Alvent bercerita, saat ini Kevin yang memiliki prestasi gemerlap di nomor ganda putra, sudah mulai mengalihkan uangnya di bisnis properti.
"Misalnya kayak saudara, Kevin yang minta pendapat ke saya. Saya bilang investasi saja, apa yang bisa diinvestasikan ya lakukan, biar duitnya tidak diam, jadi ketika nanti berhenti nilai duit ini bertambah, ada nilai lebihnya," ungkap Alvent.
"Kevin kayaknya properti, bisnis properti kan tau-tau naik sendiri. Kevin berhenti kan masih lama, nilainya masih bisa bertambah jauh. paling gampang kan itu, daripada bisnis lain yang kebanyakan mikir, nanti fokusnya dan waktunya tidak konsen di badminton," tambahnya.
Sumber Pendapatan Pebulutangkis Indonesia
Bonus dari pemerintah jelas menjadi sumber pendapatan yang cukup menggiurkan bagi para pebulutangkis Indonesia. Asal bisa meraih prestasi di ajang besar, seperti kejuaraan dunia, Asian Games, dan SEA Games, uang bonus pemerintah pasti mengucur dengan sendirinya.
Namun, pebulutangkis Indonesia tentu tak hanya mengandalkan bonus pemerintah saja sebagai sumber pendapatan. Masih ada lubang-lubang lainnya yang turut menghasilkan uang.
Uang hadiah hasil mengikuti kompetisi internasional berhak dimiliki oleh pebulutangkis. Namun khusus yang berkecimpung di nomor ganda, uang hadiah harus dibagi dua dengan pasangannya.
Sumber pendapatan yang kemudian rutin masuk ke kantong pebulutangkis berasal dari sponsor. Para sponsor yang merupakan produsen perlengkapan alat bulutangkis, memberikan kontrak kepada para atlet dan uang gaji bulanan serta bonus.
"Sponsor outfit itu sumber pemasukan kita. Uangnya per bulan dan bonus juga kalau juara," ujar Gloria.
Namun bila melangkah jauh ke belakang, tepatnya pada zaman Alvent masih berkarier, uang dari sponsor tak datang tiap bulan. Pendapatan dari sponsor kala itu masuk per tiga bulan sekali.
Perbedaan juga terletak di sistem negosiasi antara atlet dan sponsor. Zaman Alvent dulu, nilai kontrak seorang atlet bulutangkis Indonesia ditentukan oleh pelatih pelatnas PBSI.
Sementara untuk zaman sekarang, sistem negosiasi kontraknya terbilang lebih luwes. Atlet sendiri kini bisa menegosiasikan nilai kontrak langsung kepada pihak sponsor, tanpa perantara pelatih atau PBSI lagi.
"Ada perbedaan sistem kontrak antara yang dulu dan yang sekarang. Kalau sekarang yang Kevin dan kawan-kawan, pemainnya nego sendiri ke pihak brand, jadi per orang tinggal ngomong sama brand, negosiasi sendiri," jelas Alvent.
"Tapi kalau zaman saya dulu, yang nentuin besarannya dapat berapa itu pelatih, soalnya dulu kan semua pelatnas dikontrak sama satu brand. Kalau dulu semuanya lewat PBSI," tambah Alvent.
Sistem yang luwes seperti sekarang, ternyata sangat menguntungkan pebulutangkis. Nilai kontrak yang didapat bisa makin besar ketimbang zaman Alvent dulu.
Apalagi para sponsor juga saling bersaing untuk memperebutkan seorang atlet berprestasi. Sebuah sponsor bisa memberikan nilai kontrak fantastis agar sang pebulutangkis berprestasi tak dicomot oleh merek lain.
"Jauh lebih gede sekarang, apalagi ada persaingan brand juga untuk pemain bagus. Misalnya Kevin, pasti direbutin semua merek, semua berebut untuk ngasih yang gede kepada Kevin. Jadi Yonex juga kasih yang fantastis biar Kevin tidak direbut brand lain," tutur Alvent.
Gambaran soal nilai kontrak, seorang atlet bisa mendapat angka ratusan juta rupiah per tahun. Zaman Alvent dulu semasa masih menduduki ranking satu dunia, mendapatkan kontrak sebesar Rp400 juta.
Pebulutangkis era sekarang pun diyakini nilai kontraknya bisa melonjak jauh ketimbang Alvent tadi. Selain sistem yang lebih luwes dan persaingan para sponsor, saat ini nilai mata uang juga sudah meningkat drastis ketimbang dulu.
"Waktu di pelatnas, jaman dulu mungkin tahun 2004 waktu top-topnya setahun hampir 400 juta, tapi tahun 2004 ya. Ya waktu itu segitu, waktu masih rangking 1 dunia segitu. Kalau sekarang pasti udah jauh meningkat sekali," ucap Alvent.
Keuntungan Masuk Pelatnas
Segala uang yang mengalir dari sponsor, akan kian memakmurkan pebulutangkis jika masih tergabung ke dalam pelatnas PBSI. Selama masih dalam naungan pelatnas PBSI, pebulutangkis tak perlu lagi memikirkan biaya soal pertandingan, tiket perjalanan, makan, ataupun tempat tinggal.
"Ya PBSI memberikan sarana fasilitan latihan, makan yang bergizi, asrama. Kalau di pelatnas lebih diprioritaskan," ujar Gloria.
Alvent kebetulan merupakan pebulutangkis Indonesia yang pernah keluar dari pelatnas PBSI ketika masih berkarier. Kala itu Alvent memutuskan keluar dari pelatnas PBSI lantaran ada perbedaan kepentingan dan tujuan.
"Saya keluar pelatnas karena ada yang tidak cocok saja. Saya pisah sama Luluk, saya ada partner baru, kan sama partner baru poinnya 0. Jadi saya untuk bisa bertanding di event internasional saya harus punya poin, dan untuk punya poin harus pertandingan," tutur Alvent.
"Waktu itu saya minta saya harus ikut 10 pertandingan biar saya dapat poin. Tapi waktu itu PBSI ada kebijakan lain, jadi ya saya keluar. Saya lebih mentingin untuk ikut di banyak event," tambah Alvent.
Alvent lantas menjabarkan pengalamannya saat keluar dari pelatnas PBSI. Alvent mengaku harus sendirian dalam memperjuangkan segala hal tentang karier bulutangkisnya.
Biaya untuk mengikuti kompetisi internasional saja menggunakan uang Alvent pribadi. Beruntungnya, Alvent masih mendapatkan bantuan dana dari pihak sponsor.
"Duit dari sponsor cukup untuk membiayai ikut kompetisi, kan sudah ada hitungannya juga dari sponsor, cuma ya lebih enak kalau di pelatnas," ungkap Alvent.
"Kalau di pelatnas, hotel dibayarin, tiket dibayarin, pertandingan dibayarin, kita juga dapat pemasukan dari kontrak sponsor, lebih terjamin lah, semua fasilitas ada di sana, kalau kita sakit juga ada dokter di sana. Kalau kita di luar pelatnas kan ketika sakit harus cari dokter sendiri," lanjutnya.
Begitulah kurang lebih lika-liku tingkat kesejahteraan atlet bulutangkis di Indonesia. Bonus pemerintah berkat prestasi di ajang besar, hanya sekedar menjadi pelengkap, sisanya pebulutangkis mengandalkan kemakmuran dari kontrak sponsor dan bantuan PBSI.